Besok tolong kamu temui dia.
Monalisa telah mengizinkan Zian pulang hari sebelumnya, tapi satu pesan singkat masuk ke smarthphone Zian waktu itu. Ia terpaksa meminta waktu perawatannya diperpanjang sehari lagi. Daripada harus mencari hotel hanya untuk semalam, padahal harus juga ia bergegas kembali ke Banjarmasin. Soal "perempuan ini", agak jengkel juga Zian dibuatnya.
"Sebelum pulang ke Surabaya, temuin ponakannya teman ibu dulu ya! Dia ada di Kalimantan. Kalau kamu setuju, nanti biar Ibu tanya kapan dia bisa ketemu sama kamu," jelas Ibu seminggu lalu. Kebetulan sekarang Zian ada di kota tempat perempuan yang ibunya maksud tinggal. Tapi, jadwal pertemuan mereka baru bisa dijadwalkan hari itu.
Sebenarnya, Zian sempat berkeras. "Nggak perlu lah repot-repot untuk urusan beginian. Lagian udah sering 'kan, Bu. Dan nggak akan pernah berhasil. Urusan istri, nanti biar aku cari sendiri," katanya.
"Memang apa salahnya? Kamu suka atau nggak suka urusan belakangan. Seenggaknya kalian bertemu dulu. Siapa tahu emang baik, sayang 'kan kalau keduluan orang," jawab ibunya.
"Bu!"
"Sudah. Nanti Ibu kabarin di mana kalian bisa ketemuan. Ok?"
...
Zian menghela napas. 'Kencan buta' berarti memutar otak, mencari cara agar tidak terjalin hubungan, dengan tetap menjaga nama baik keluarga. Andai Ibu tahu kalau itu akan sia-sia! Zian mendengus keras. Untuk kesekian kalinya ia tidak dapat menolak. Rata-rata perempuan yang pernah ia temui, tidak mudah ditangani. Mereka merasa cocok dengan Zian di pertemuan pertama dan menuntut alasan yang kuat ketika Zian bilang, "Maaf, kita tidak bisa bersama!" Tidak bisa juga Zian bilang to the point bahwa dia "sakit", atau "sudah punya pacar". Itu akan lebih melelahkan, karena ibunya akan mengorek pernyataan itu hingga ke akarnya.
Sekarang, Zian sudah siap untuk pergi. Koper dan ranselnya tinggal diangkut saja. Taksi yang akan mengantarnya ke Banjarmasin juga sudah siap. Zian hanya akan mampir sebentar ke tempat yang dimaksud ibunya.
"Hari ini Zahira tidak masuk kerja?" tanya Zian pada salah satu perawat yang berjaga pagi itu.
"Iya."
"Kemarin juga libur, 'kan?"
"Kemarin itu jadwal dia memang libur. Hari ini izin."
"Enak ya jadi perawat, banyak liburnya!" celetuknya sambil mengeluarkan tas kertas bermotif batik. Di dalamnya ada kotak perhiasan, berisi liontin berlian yang dibelinya bersama Zahira beberapa hari lalu. Pada akhirnya Zian sadar bahwa liontin itu tidak cocok untuk ibunya. Liontin itu justru terus mengingatkan Zian pada Zahira. Zian merasa hatinya tak lagi jernih, ada perasaan rindu yang tumbuh dan tidak ingin diakui. Sudah seharusnya ia meninggalkan kenangan itu di sana, dan ketika ia melangkah keluar rumah sakit, Zian harus melupakan Zahira sepenuhnya.