Zian dan Zahira

romaneskha
Chapter #10

Chapter 10: Bukan Apa-apa

Zahira tahu jelas bahwa Zian menyembunyikan penyakitnya dari keluarganya sendiri. Dan untuk ini, Zahira tidak bisa menyalahkan Ibu yang telah menjodohkan mereka. Orang itu tentu tidak bermaksud untuk mendorongnya ke lembah yang ditakuti oleh semua orang dan membuat dirinya harus merasakan juga rasa sakit yang dirasakan Zian saat mereka menikah. Tapi, Zian... Zahira benar-benar tidak mengerti. Sekali lagi, usahanya sepertinya berhasil, untuk membawaku datang kemari.

Zahira berada di depan apartemen Zian. Pukul tujuh malam barulah orang itu datang, dan itu berarti sudah hampir tiga jam Zahira dibuat menunggu.

"Ada apa? Kenapa kamu di sini?" heran Zian. Satu-satunya yang terpikir olehnya adalah tentang liontin.

"Saya tidak menyangka Anda begitu lihai!" sambil bersidekap, Zahira berdiri di hadapan Zian.

"Lihai?"

"Sejak kapan Anda tahu soal saya? Apa Anda pikir saya gadis yang gampang untuk dirayu?"

Zian mendesis. Ia masih tidak mengerti maksud Zahira bertanya seperti itu.

"Sejak awal, Anda memang punya tujuan lain."

"Eh, aku benar-benar nggak ngerti apa yang kamu omongin."

"Jawab saja! Saya perlu menilai ini secara objektif."

"Apanya?"

"Ya itu, kapan Anda mulai menerima informasi tentang saya dari Ibu Anda?"

"Waktu kamu bawa smarthphone aku ke roof top. Waktu itu ibu aku nelpon terus. Dia bicara soal keponakan temannya. Dan aku benar-benar nggak kepikiran kalau itu kamu. Sumpah, aku benar-benar nggak punya niat macam-macam, kecuali mastiin bahwa upaya perjodohan ini gagal. Itu aja."

"Terus, maksud Anda ngasi liontin ke saya itu apa?"

Zian diam sejenak. Terlihat ia menghela napas sebelum mulai bicara lagi, "Nggak ada maksud apa-apa," katanya bekilah.

"Nggak mungkin," spontan Zahira.

"Ok. Kalau akhirnya itu bikin kamu salah paham, kamu boleh balikin itu," Zian menadahkan tangannya.

Zahira terpaku. Tatapannya penuh pada Zian. Mata Zahira perlahan memerah. Ia kecewa, meski tak mengerti kenapa. Pada akhirnya, ia harus mengembalikan liontin itu. Meletakkannya langsung di atas tangan Zian.

Zian meyambut itu dengan perasaan kesal. Nasibnya terlalu buruk ia kira. Zian tidak beraharap ada kesempatan untuk mengungkapkan bagaimana isi hatinya, rindu telah merenggut ketenangan dan juga menyakitinya. Zian harus menahan itu semua. Harus menahan diri untuk tidak lagi bertemu dengan Zahira. Namun, apakah ia juga tidak diizinkan meletakkan perasaannya pada sebuah benda, terserah bagaimana Zahira memperlakukannya. Sekarang, liontin itu kembali ke tangannya, seolah rasa cinta itu sama kotornya dengan tubuhnya. Hingga tidak ada yang sudi untuk menyimpannya.

Tapi, ya sudahlah. Zian melangkah masuk ke apartemen tanpa menoleh. Memang, satu-satunya yang patut menjadi harapan adalah hidup yang lebih panjang dan damai. Namun, sepertinya harinya yang melelahkan tidak akan segera berakhir.

"Saya masih tidak yakin kalau Anda tidak punya niat apa-apa," Zahira kembali bersuara.

"Sebenarnya apa yang mau kamu dengar?" Zian terpaksa berbalik. Meninggalkan pintu rumah yang sudah terbuka setengah. "Hasil akhirnya akan tetap sama, kamu akan menolak liontin itu."

"Bukan liontin itu masalahnya."

"Lalu apa? Kamu takut menerima liontin ini karena kamu berpikir bahwa itu berarti menerima perjodohan ini. Kamu tidak akan percaya, saat kubilang aku tidak tahu siapa yang akan dijodohkan denganku ketika kuberikan liontin ini."

"Lalu, apa alasannya? Itu liontin mahal."

"Entahlah!" Zian berubah gusar. "Mungkin karena waktuku tidak banyak. Aku merasa kamu terlalu baik. Saat di rumah sakit... saat membawaku kembali ke rumah sakit. Aku tidak punya apa-apa untuk kuberikan sebagai bentuk balas budi. Sebenarnya, jika kamu punya sedikit rasa kasihan, kamu akan mengerti."

Zahira mulai berpikir lagi, tentang siapa yang sebenarnya menggoda dan siapa yang telah tergoda. "Anda salah paham dengan sikap saya!"

"Aku tahu," jawab Zian apa adanya. "Aku menanggapinya berlebihan, padahal buat kamu itu biasa."

Zahira tersenyum, "Jadi, Anda mengakui bahwa Anda mulai menyukai saya?"

Zian menghela napas, ia memandang gelisah ujung koridor depan apartemen. Sebenarnya agak tidak nyaman bicara dengan posisi seperti itu. Namun, tidak mungkin juga Zian berinisiatif untuk membawa Zahira masuk ke dalam rumah. Itu bertentangan dengan yang seharusnya. Zian adalah laki-laki dan dia masih menghormati perempuan yang datang kepadanya malam itu. "Berhentilah bicara macam-macam!" nasihat Zian. "Aku lelah dan kamu harus pulang. Soal liontin, tidak perlu dibahas lagi. Aku hanya ingin berterima kasih dengan caraku. Maaf, kalau itu justru membuatmu merasa terganggu."

Zahira menelan air liurnya, "Anda marah?" tanyanya kemudian.

Hening sejenak. Berpikir. Zian tentu tidak berniat marah, tapi dadanya terasa panas.

Lihat selengkapnya