ZIARAH

Noura Publishing
Chapter #2

DUA

Sudah tiga hari berturut-turut dia mengapur tembok luar pekuburan kotapraja itu. Tiga hari pula lamanya sang opseter terus-menerus mengintipnya dari celah-celah pintu dan jendela rumah dinasnya di kompleks pekuburan itu.

Dia, sang opseter makin gelisah. Sebab sedikit pun tak ada dilihatnya yang ganjil yang patut mendapat perhatian khas pada tingkah laku pengapur itu. Dia biasa saja, datang tiap hari lepas sedikit tengah hari, lalu terus mengapur, tanpa henti-hentinya.

Menjelang terbenamnya Matahari, dia berhenti kerja, membenahi alat-alatnya, menagih upahnya, pergi tenang sambil bersiul-siul ke kedai arak. Dan, menurut berita orang-orang di situ, sedikit pun tingkah lakunya tak menunjukkan keanehan apa-apa—yang sendiri sebenarnya sudah merupakan keanehan tersendiri! Sebelum dia memborong pekerjaan mengapur tembok-tembok luar pekuburan itu, orang-orang di kedai sudah biasa dengan tingkah anehnya. Kini dia jadi perhatian umum, perbincangan seluruh kota. Dengan waswas mereka mengamati tingkahnya yang sudah tak aneh lagi itu. Seolah-olah ketidakanehan sendiri adalah keanehan!

Perubahan tingkah pengapur ini memengaruhi tingkah seluruh warga kota. Mereka tak dapat memahami perubahan itu. Mereka melihat pada perubahan itu hanya pertanda bakal datangnya satu perubahan tak baik dan tak menyamankan bagi mereka semua. Tiap mereka itu begitu dipengaruhi kejadian dan pemikiran-pemikiran yang diakibatkannya, hingga lambat laun tiap mereka merasa datangnya perubahan pada diri mereka masing-masing. Mereka merasa mereka yang kini lain daripada mereka sebelumnya. Juga orang-orang lain, orang-orang di luar diri mereka, menurut mereka sudah bukan lagi orang-orang seperti yang mereka kenal sebelumnya. Sinar mata mereka, warna wajah mereka, nada-nada suara mereka, arti tiap kata yang mereka ucapkan, telah berubah semuanya.

Mereka bingung. Perasaan yang menghancurkan seluruh keyakinan dan kepercayaan akan diri mereka sendiri selama ini, merebut diri mereka.

Demikianlah tiba saatnya, di mana pada satu hari tiap warga kota sekaligus merasa takut, curiga, dan bingung kepada sesama warga kota lainnya, dan tak kurangnya kepada diri mereka sendiri! Tak seorang berani berdiri lama-lama di muka cermin. Takut kalau-kalau yang mereka lihat di cermin itu bukan mereka sendiri.

Tak lagi janji dapat diikat di kota itu. Percakapan-percakapan mulai kurang dilakukan. Sebab, kata-kata yang mereka akan jalin dalam kalimat-kalimat, menurut pendapat mereka sudah kehilangan artinya yang semula.

Hubungan antarsesama mereka makin lengang. Usaha untuk menggunakan bahasa isyarat-isyarat tangan segera mereka hentikan karena tiba-tiba sekali menyusup kesadaran putih dalam daging mereka: mereka sesungguhnya hidup pada abad ke-20 dengan kebudayaannya yang sedang menerobos ruang angkasa.

Pada hari ketiga tokoh kita mengapur tembok-tembok pekuburan itu, walikota dari kota kecil itu rupanya masih belum begitu rusak kepercayaannya pada dirinya sendiri. Jalan pikirannya belum begitu kacau seperti halnya warga kotanya yang lain. Dia putuskan mengadakan sidang darurat badan pekerja harian kotapraja. Acara tunggal: apakah sikap resmi kotapraja terhadap bekas pelukis yang memborong mengapur tembok-tembok pekuburan kotapraja yang dibiayai pribadi oleh opseter yang masih tetap punya status pegawai tetap kotapraja itu!

Itu adalah sidang paling aneh yang pernah dilakukan di kota itu.

Anggota anggota badan pekerja harian sama sekali tak ada yang menyatakan pendapat! Tak seorang pun dari mereka selama sidang itu membuka mulut, mengangakan tenggorokannya untuk mengeluarkan bunyi barang sepotong pun. Mereka semua melongo saja, sama tercengang menonton sang Walikota yang bicara sendirian.

Walikota menganggap tingkah mereka ini sebagai tanda setuju aklamasi dengan usulnya, agar sang Opseter segera diperintahkan untuk memerintahkan tokoh kita menghentikan pekerjaannya mengapur tembok-tembok pekuburan itu, dan agar mulai hari itu opseter itu dinonaktifkan dari jabatannya menunggu putusan resmi lebih lanjut “sampai keadaan dan suasana aneh yang meliputi kota kita tercinta ini lewat”.

Ketika Walikota selesai membacakan usul resolusi bernapas panjang itu, kemudian memukulkan palu tanda sidang selesai, masing-masing anggota badan pekerja harian kotapraja itu cepat berdiri dan buru-buru pulang ke rumahnya. Seolah badai dahsyat bakal segera tiba. Termangu-mangu Walikota duduk di kursinya. Ketika dia memanggil salah seorang petugas untuk mengantarkan resolusi itu kepada sang Opseter, tak seorang petugas pun yang menyahut, datang. Mereka tadi mencuri dengar sidang dari balik pintu-pintu dan jendela-jendela ruang sidang. Begitu Walikota selesai membacakan usul resolusinya, mereka pontang-panting berlarian, masing-masing sembunyi ke rumahnya. Tidak! Biar mereka dipecat, dituduh sengaja membangkang atasannya sewaktu dinas, tapi mereka sekali-kali tak mau disuruh mengantar resolusi aneh itu kepada opseter pekuburan yang dalam pandangan mereka lebih-lebih lagi anehnya itu. Tidak! Disuruh menemui jin paling angker sekalipun mereka sedia, tapi sama sekali tidak, tidak, tidak menemui opseter pekuburan itu.

Terpaksalah Walikota mengantarnya sendiri. Apa boleh buat. Dalam hati kecilnya, dia sendiri sebenarnya bukan tak turut mengutuk tugasnya itu. Rumah tangganya sendiri telah mengalami seluruh akibat peristiwa aneh yang diciptakan opseter pekuburan itu. Rumah tangganya berantakan. Istrinya telah membawa beberapa anaknya lari ketakutan ke orangtuanya yang diam di kota lain. Sedang anak-anaknya yang lain, yang tidak sempat atau mau ikut lari bersama ibunya, kini berkeliaran di kota seperti orang dungu membisu, tak mau ataupun barangkali tak dapat lagi seterusnya berkata-kata. Apabila mereka berpapasan dengan orang lain dengan suara gagah, mereka berjingkrak-jingkrak sambil menunjuk-nunjuk ke arah pekuburan. Dan, orang-orang dengan siapa mereka berpapasan itu makin kacau pikirannya disebabkan hal ini. Mereka lalu lari terbirit-birit dari situ, dengan atau tanpa diiringi teriak-teriak yang sangat mengerikan.

Akhirnya sampai juga Walikota ke pekuburan. Dari jauh dia telah lihat bekas-pelukis itu sedang mengapur. Melihat dia ini, tubuh Walikota serasa lembap. Dengan perasaan haru biru, dia berlalu dari sana. Sambil memicingkan mata, dia berharap tak akan sempat terlihat oleh pengapur itu.

“Ahoi! Pak Walikota! Ke mana, nih?”

Walikota terpaku pada tanah, tunduk sambil memilin-milin jari-jarinya persis anak kecil tertangkap basah nakal.

“Dia ada di rumah. Itu, di sana—mengintip-intip saya dari balik pintu rumahnya.”

Cepat-cepat Walikota menaiki tangga rumah dinas Opseter. Ketika dilihatnya seluruh pintu jendela rumah itu tertutup rapat-rapat, dia berdiri di berandanya putus akal berbuat apa dia selajutnya.

“Dia ada di dalam! Ketuk saja pintunya!” teriak Pengapur.

Tapi apa lacur, nafsu bertindak tegas telah enyah sama sekali dari diri Walikota. Dia memutuskan untuk mengitip saja dulu lewat lubang kecil pintu depan.

Alangkah kagetnya dia! Dia melihat dari lubang kunci itu satu bola mata yang terbelalak lebar-lebar, melihat lurus-lurus—ke dalam matanya sendiri! Segera sesudah konfrontasi mata dengan mata melalui lubang kunci itu, terdengar dua teriakan parau sekaligus: yang satu teriakan sang Walikota, yang satu lagi teriakan sang Opseter yang tak kurang kagetnya melihat dari lubang kunci pintunya satu bola mata terbelalak lebar-lebar memandang ke dalam matanya! Paduan kedua teriakan parau ini menambah kejut mereka masing-masing. Walikota seperti terpesona tegak memeluk tiang, sedang Opseter berlari keliling-keliling dalam rumahnya, terus berteriak-teriak parau.

Tiba-tiba terdengar menggegar suatu tawa gempita dari atas tembok.

“Ha ha ha! Yang mana kucing, yang mana tikus?”

Kedua mereka sama terkejutnya, untuk segera menyim­pulkan bagi diri mereka sendiri, bahwa keadaan dan kedudukan mereka saat itu adalah persis: keadaan dan kehidupan antara apa yang disebut kucing dan apa yang disebut tikus ....

Kunci pintu depan kedengaran dibuka. Keluarlah sang Opseter sambil mengacung-acungkan tinju ke arah tembok.

“Hormatlah kepada kewibawaan, hai kau! Hormatilah pamong praja yang sedang dinas! Tak ada kucing, tak ada tikus di sini. Yang ada adalah ... eh, apa yang ada di antaranya. Eh ..., selamat siang, Pak Walikota! Silakan masuk, kemari!”

Terperanjat juga Walikota mendengar ini. Tapi, begitu tampak botak yang mulai berkilat pada kepala Opseter, kesadaran pamong prajanya segera pulih kembali. Dengan muka dan suara yang diluruskan, dia berkata:

“Mulai hari ini, Saudara dinonaktifkan sebagai opseter pengawas pekuburan ini. Ini surat keputusan tentang itu. Selamat siang!”

“Tapi ....”

“Tak ada tapi! Putusan adalah putusan. Kalau Saudara bisa pindah hari ini juga dari rumah dinas ini, lebih baik. Selamat siang!”

Dengan geram diempaskannya beslit nonaktif itu ke atas meja di beranda itu. Tapi, ketika sudah di tangga mau turun, dia berhenti, berpaling dan berkata:

“Dan, eh .... pekerjaan mengapur tembok itu, yang dalam keseluruhannya adalah penjungkiran menyeluruh terhadap apa yang disebut administrasi kenegaraan, bersama ini saya perintahkan supaya saat ini juga dihentikan. Saudara mengerti?”

Lihat selengkapnya