ZIARAH

Noura Publishing
Chapter #3

TIGA

Gelak-gelak tawa mereka reda. Bekas pelukis kesal, dia tadi telah begitu menyerahkan dirinya bulat-bulat kapada tawanya. Kini, setelah tawanya reda, dengan terkejut dia menemui kekosongan besar dalam rongga-rongga sebelah dalam dari tubuhnya.

Kekosongan ini menyendatkan perasaannya. Perasaan jengkel yang makin besar terhadap opseter itu mencakar dirinya. Api kebencian membara pada kedua matanya, yang tanpa ampun disorotkannya kepada sang Opseter. Dia ini masih saja duduk di anak tangga. Tiba-tiba dia tahu, bekas pelukis yang masih saja jongkok di atas tembok itu amat membencinya. Juga dia tahu, di dasar paling bawah dari benci bekas pelukis itu terdapat kehendak agar dia, sang Opseter, mati. Lebih tepat lagi, tiada.

Dia menggigil oleh pengetahuan ini. Tapi, sedapatnya dia berusaha jangan memperlihatkannya. Juga dia adalah pamong praja yang telah bermasa dinas puluhan tahun. Pada kulit tubuhnya pasti ada ditemukan lapisan-lapisan yang menyatakan masa dinasnya itu. Juga, unsur-unsur yang telah membuatnya selama masa dinasnya itu kebal terhadap segala pendapat umum (yaitu, tiap pendapat yang tak ikut mencakup pendapatnya) dan nuraninya sendiri. Pamong praja yang baik tak punya pendapat sendiri, sama sekali tak punya nurani. Ini adalah petuah sang opseter pekuburan yang lebih dulu dari dia, yang digantikannya hampir tiga puluh tahun lalu. Petuah ini ditulis dengan tulisan tangan pada secarik kertas, dan ini diikatkan pada kaki kiri opseter tua yang telah menggantung dirinya itu. Oleh sebab dia menggantung dirinya di rumah dinas yang toh sudah di kompleks pekuburan itu sendiri, maka seluruh pekerjaan mengurus dan menguburkan mayatnya tak meminta waktu yang kelewat lama. Walikota mengutus Kepala Dinas Pekerjaan Umum sebagai wakilnya, dan disaksikan para pegawai dan buruh pekuburan yang segelintir itu (akibat penghematan), Opseter tua itu dikubur. Seluruh upacara itu hanya minta waktu tak lebih dari lima menit. Sebab, sesudah itu dua mayat penduduk kota, yang sudah sejak tadi bersama kaum kerabatnya menunggu di ruang kamar tunggu di pintu gerbang pekuburan, menunggu gilirannya untuk dikubur pula.

Demikianlah, selesai pidato singkat Kepala Pekerjaan Umum, atas nama Walikota, para pegawai dan buruh pekuburan berlarian ke pintu gerbang, tanpa menimbun dulu peti mayat Opseter tua dengan tanah.

“Itu kapan-kapan saja nanti dapat kita lakukan!” bentak Mandor yang memberi contoh kepada kuli-kulinya lari tunggang ke pintu gerbang.

Dan, kuli-kuli yang pada penguburan Opseter tua ini sama sekali tak ada beroleh persenan apa-apa (walaupun mereka sebenarnya tahu si mayat adalah bekas sep mereka sendiri dan walaupun mereka sebenarnya tahu juga sep mereka itu tak punya apa-apa dan siapa-siapa di dunia ini), membenarkan Mandor mereka. Seperti dalam Olimpiade saja mereka terbang ke pintu gerbang. Mereka sempat mendengar tadi, yang menunggu di pintu gerbang adalah mayat Tionghoa, sedang yang satu lagi mayat Eropa. Jadi, dua-duanya mayat kaya. Setidaknya, kerabatnya yang kaya, dan pasti tak segan-segan memberi persenan besar kepada kuli-kuli pekuburan.

Tapi, lepas dari seluruh peristiwa ini, satu persoalan pelik segera menghadirkan dirinya pada Walikota dan badan pekerja harian kotapraja. Yaitu, lowongnya jabatan Opseter pekuburan, dan kenyataan, sesudah sebulan terus-menerus memasang iklan di surat kabar-surat kabar, tak seorang datang melamar pekerjaan itu. Ini sungguh mengherankan mereka. Sedang mereka tahu, pada masa susah seperti yang mereka alami itu pastilah banyak jumlah penganggur, juga di kaum intelektual dan setengah intelektual seperti layaknya seorang opseter. Kepala jawatan penempatan tenaga yang diperintahkan datang oleh Walikota, tak dapat memberikan keterangan jelas.

“Apa tak ada seorang pun dari sekian ribu penganggur yang terdaftar pada jawatan Saudara yang ingin melamar pekerjaan opseter pekuburan?” tanya Walikota setengah menghardik.

“Tak seorang pun.”

“Tak mungkin!” bentak Walikota. “Saudara agaknya tidak melakukan pekerjaan Saudara dengan baik. Hati-hati, ya, gara-gara ini Saudara bukan tak mungkin akan kehilangan pekerjaan.”

“Tuan Walikota boleh percaya atau tidak, tapi saya sendiri sudah mendatangi setiap penganggur yang terdaftar itu ke rumahnya ... sejauh mereka ada atau masih punya rumah.”

“Lalu, apa kata mereka?”

“Mereka tak berani menerima pekerjaan itu.”

“Alasannya?”

“Pertama, pekerjaan itu ngeri, kata mereka. Sebab, tiap hari mereka harus mengurus mayat-mayat saja. Kedua, rumah dinas bagi opseter pekuburan itu angker, kata mereka, disebabkan peristiwa bunuh diri opseter yang lalu.”

“Kata siapa angker?”

“Itu hanya dugaan mereka. Tapi, dugaan yang cukup kuat untuk membuat mereka lebih baik menanggungkan lapar daripada menerima pekerjaan itu.”

“Apakah bila mereka berlarut-larut menganggur dan tidak makan, mereka nanti tak akan menjadi mayat-mayat itu sendiri, ha?”

Kepala jawatan penempatan tenaga tertunduk, meng­opek-ngopek kuku ibu jari tangan kirinya. Pertanyaan Wali­kota itu terang tak dapat dijawabnya.

“Dengar baik-baik, Saudara,” kata Walikota dengan nada-nada suara penuh mengandung ancaman. “Apabila Saudara dalam waktu 2 x 24 jam sesudah ini belum juga berhasil mengusahakan petugas baru bagi jabatan opseter pekuburan itu, maka ini akan saya anggap sebagai alasan yang cukup kuat untuk meninjau kembali kedudukan Saudara sebagai kepala jawatan penempatan tenaga di kotapraja saya ini. Agaknya saya berbicara cukup jelas bagi Saudara, bukan?”

Kepala jawatan penempatan tenaga menjadi sangat pucat. Tapi, untuk saat itu dia hanya bisa tunduk saja. Kuku ibu jari tangan kirinya tiba-tiba dikopeknya dengan sangat bernafsu hingga terkopeklah ia seluruhnya. Darah murni, merah bening, mengucur dari puncak ibu jarinya.

Dengan langkah-langkah berat, dia berlalu dari hadapan Walikota. Esoknya, pagi-pagi benar, kepala jawatan penempatan tenaga minta dibolehkan menghadap Walikota. Ibu jari tangan kirinya tampak dibalut putih bersih. Seputih dan sebersih wajahnya yang tampak gembira. Bersama dia ada seorang laki-laki muda belia, lepasan pemuda tanggung.

“Saudara ingin menemui saya sepagi ini, nah ada apa?” tanya Walikota, kesal bercampur heran juga.

“Saya ingin menunaikan tugas saya sebelum 2 x 24 jam lewat.”

Walikota saat itu sudah mengalihkan pandangannya kepada pemuda yang tegak di samping kepala jawatan penempatan tenaga.

“Ini dia orangnya?”

“Ya.”

“Apa dia ini tak sependapat dengan para penganggur lainnya tentang pekerjaan yang bakal dilakukannya?”

“Saya minta supaya Pak Walikota mengetahui proporsi dan suka menjaga kata-katanya!” celetuk pemuda itu tiba-tiba.

Walikota tersandar dengan kagetnya di kursinya. Mata­nya membelalak, mulutnya penuh ludah basi yang siap untuk disemburkannya kepada pemuda itu.

Lihat selengkapnya