Waktu yang terjadi sebelum peperangan dataran Lira dimulai.
Sepasang kekasih, Rayna (24 tahun) dan Lofan (27 tahun) hanya terduduk dan terdiam pada rerumputan yang tertiup angin sore hari. Mentari terasa hangat dan suasana menguning keemasan dengan angin utara yang terasa kering. Mereka berusaha menikmati setiap detik kebersamaan yang masih dapat mereka reguk walau sesaat. Berharap waktu terhenti dan hanya mereka yang bergerak tanpa ada yang mengganggu. Perlahan Rayna, sang wanita, tidak kuasa menahan kesedihannya. Air matanya mengalir tak terbendung oleh hatinya yang berusaha dia tegarkan.
"Rayna, aku mohon, wajahmu pada saat terakhir inilah yang akan aku ingat dalam peperangan nanti. Tersenyumlah walau aku tahu itu susah bagimu." Kata Sang Pria, Lofan, sambil terus memilin rumput lalu menjalinnya sedari tadi.
Rayna tidak menjawab dia hanya menyenderkan tubuhnya pada Lofan dan mengambil tangan Lofan untuk diciumnya.
Tidak berapa lama jalinan rumput membentuk sebuah mahkota. Lofan tersenyum dan memakaikan mahkota itu pada Rayna.
"Rayna, aku akan berusaha agar Lira keluar menjadi pemenang pada perang nanti. Sesudah itu dataran ini akan jadi kerajaan kita. Aku rajanya dan kau ratunya," kata Lofan.
"Aku tidak perduli walau kau adalah gembel dataran ini. Aku hanya mau kita bersama. Mengapa kita tidak lari saja?" kata Rayna.
"Ke mana?"
"Ke mana saja. Hanya kau dan aku," kata Rayna lagi.
"Kalau aku melakukan itu, aku sudah bukan bagian dari Dataran Lira lagi," jawab Lofan. "Lagi pula kalau kita kalah, tidak ada tempat untuk lari."
"Tapi kita akan bersama lebih lama dan aku tidak masalah walau harus lari selamanya," jawab Rayna.
"Rayna, seluruh pria Dataran Lira berjuang untuk kebebasan dataran ini dan aku bagian dari Dataran Lira. Apa yang akan aku ceritakan pada anak kita nanti, ketika dia bertanya tentang Dataran Lira? Bahwa Dataran Lira adalah wilayah yang indah dan aku lari ketika harus membelanya?" tanya Lofan.
"Tidak akan ada anak kalau kau mati Lofan!" Rayna sedikit berteriak dan bangkit dari senderan tubuh Lofan.
"Ray-"
"Diam!" Rayna langsung memotong Lofan yang hendak berkata lalu kembali menyenderkan tubuhnya.
"Aku tahu aku egois. Aku hanya sedikit emosi," kata Rayna dan menarik tangan Lofan supaya memeluknya. Lofan mengerti dan mempererat pelukannya pada Rayna.
"Doakan saja aku hidup. Aku tidak mau kau menjadi ratu tanpa rajanya," kata Lofan sambil membelai rambut sepinggang Rayna yang pirang dan lurus.
"Lofan, menunggu itu tidak enak. Aku mau ikut perang bersamamu," kata Rayna.
"Ha ha ha ...," Lofan tertawa kecil.
"Kau meremehkanku?" tanya Rayna.
"Tidak, hanya saja kau ingat ketika kau tidak sengaja menginjak kupu-kupu?" tanya Lofan.
"Aku menangis karena kupu-kupu itu cantik Lofan, sedangkan pejuang Liveria menjijikkan. Aku tidak akan lemah atau pun ragu bila harus menghadapi mereka," jawab Rayna.
"Tetap saja, beberapa menit kau disana, seketika kau akan jadi mayat. Lalu Prajurit terkuat Lira akan kehilangan semangatnya," kata Lofan sambil pasang pose gagah.
"Terkuat dari mana!? Menangkapku saja kau butuh waktu lama. Bahkan terkadang kau tidak sanggup melakukannya," kata Rayna tersenyum.
"Aku sedang mengejar pacarku, dimana romantisnya kalau langsung aku tangkap?"
"Jadi selama ini kamu mengalah!?" Rayna bangkit, mengacak rambut Lofan dan mengotori mukanya dengan tanah lalu langsung berlari.
"Awas kau!" Lofan langsung mengejar Rayna. Mereka berlarian mengelilingi rumput yang menguning dan tawa mereka pun melebur bersama dengan suara gesekan rerumputan yang tertiup angin. Rayna berusaha menghindari Lofan yang hendak menangkapnya sambil sambil terus tertawa. Tapi tiba-tiba Rayna berhenti dan membiarkan Lofan menangkapnya. Lofan masih tertawa sambil memeluk Rayna dari belakang, tapi tidak terdengar tawa balasan dari Rayna.
"Rayna ...?" Lofan menegur Rayna.
"A- aku tidak ingin kehilanganmu ...," Kata Rayna yang berkata susah payah dalam sela tangisnya. "Apa kita bisa melakukan ini lagi?" tanya Rayna, lirih. Lofan tidak menjawab, hanya memeluk erat tubuh dan mencium belakang kepala Rayna.