Terpampang jelas tulisan SMA PELITA JAYA nama sekolah tersebut di hadapan terdepan. Mobil Pajero hitam itu terhenti di depan antrian keluar masuk kendaraan sekolah. Terlihat seorang gadis di kuncir kuda turun dari mobil.
"Semangat ya sayangnya ayah sekolahnya. Belajar yang pintar, buat ayah bangga ok" Kata seorang yang sedang menurunkan kaca mobil. Di balas nya dengan lambaian tangan oleh gadis itu.
"Siap yah, ayah hati-hati yaa di jalan. Assalamualaikum." Terbatas dengan acungkan jempol, mobil itu akhirnya melaju pergi meninggalkan gadis itu berdiri sendiri di sana, baru saja ingin berbalik, ia di kejutkan dan hampir saja terjatuh akibat terhenyak kaget.
"Gila lo ya stev hampir bikin gue jantungan nih." Stevi mendapat jitakan akibat ulahnya barusan, ia hanya cengengesan dan menganduh pura-pura sakit.
"Lebay lo anak moa, baru juga di kagetin belom gue ceburin. Udah yuk mey mending kita ke kelas." Ajak stevi yang ucapannya barusan membuat ziya menggeleng. Anak itu memang suka buat dirinya heran. Stevi dengan kepolosannya, yang apa adanya, tapi bocah itu sering rese dan mengganggu konsentrasi ziya kalau ziya sedang pusing menghitung tugas rumusan.
Sesampai di kelas seperti biasa suasana ricuh dan ramai setiap saat. Banyak sekali kelakuan mereka jika kumpul dengan teman mereka masing-masing tentunya. Pukul menunjukkan angka 09:30 dimana bel istirahat pertama berbunyi. Stevi teman sebangku sekaligus sahabat karib dari kelas sepuluh selalu stand by mengajaknya ke kantin.
"Meyshaaaa!!! Kuyyyy kita ke kantin gue udah laper banget nih."
Hawanya buat ziya ingin bermalas-malasan untuk bangkit dari tempat duduk nya sekarang, tapi apa boleh buat stevi menarik lengan ziya cukup kuat. Gadis itu hanya menghela nafas, dan mengikuti irama langkah kaki yang menariknya itu dengan cepat.
Keadaan kantin selalu ramai ini yang menjadikan gadis keturunan Arab itu menyukai keadaan tempat ramai. Pusing, itu yang kerap di rasakan jika banyak orang yang berlalu lalang. Ia sekarang lebih memilih menunggu sahabatnya kembali membeli pesanan mereka ketimbang ikut memesannya. Meskipun begitu ziya tak pelit untuk mentraktir stevi, karena bagi ziya uang tidaklah begitu penting baginya. Karena yang terpenting ia bisa selalu bahagiakan orang tersayangnya.
"Mey? Mey? Meyshaaaa! What happen aya naon?!" Ucapan dari stevi barusan membuat ziya benar-benar kaget. Lebih di kagetkan lagi, sekarang mereka berdua menjadi pusat perhatian seisi kantin. Suara stevi sudah seperti terompet perayaan hari raya. Bukan cuma kencang tapi juga terbilang sangat cempreng. Sering kali ziya kerap menutup mulut sahabat nya menggunakan telapak tanganny yang bisa membuat gendang telinganya rusak nanti.
"Ehehe maap ya semua, silahkan melanjutkan makannya." Stevi menggigit bibir bawahnya, malu. Segera ia mengajak ziya untuk kembali ke kelas dan membawa makanan yang barusan ia beli di po ijah langgananya.
Melihat hal tadi membuat ziya tertawa melihat ekspresi stevi, "asli ngakak gue ngeliat komok lu. Makannya jangan suka begitu, malu sendiri kan. Ahaha kocak." Bukan bermaksud meledek atau bahkan memarahinya, sebenernya niat ziya baik terhadap sahabatnya bertujuan agar ia tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ia sayang dengannya begitu pun sebaliknya, bukankah tugas tugas seorang sahabat seperti itu, menasehati yang terbaik bukan?
" WTF! Gue tadi kan ngeliatin lu bengong kaya mannequin challenge. Dari pada lo kesambet jin tomang yaudah gue keluarin suara emas gue yang cetar dan membahana ini, eh trus malah pada menyimak gue. Emangnya gue koran apa yang kalau di baca cuma pas penasaran doang." Begitulah ocehan stevi barusan, gadis ini memang pantas bahkan sangat pantas di anggap sahabat, karena bisa jadi mood booster ziya.
"Please, nggak usah curhat tentang gebetan lu deh stev, bosen."
"Lu mah parah banget mey sama gue, gue kan emang mau curhat sekarang, mending dengerin dulu kan enggak susah cuma jadi pendengar baik gue ."
Mendengar penuturan berikut, ziya membenarkan ucapan stevi barusan. "Hmmm... Iya nih gue dengerin, Bye the way tumbenan ngomong bener."