Aku gadis yang sangat payah. Tidak pandai, kuat atau tampak berbakat pada bidang apa pun. Tetapi entah mengapa profesor Mentari memberiku nama Pelangi. Meski sejak kecil di latih khusus menjadi seorang prajurit, itu tidak membuat ku lebih kuat. Aku sepayah diriku yang sebelumnya. Aku tidak pandai berkelahi, nilai latihan menembakku sangat buruk, semuanya yang ada pada diriku sangat payah. Aku benar-benar manusia payah. Paling payah disini. Aku merasa begitu lemah sehingga terpikir olehku untuk dirasuki iblis agar aku menjadi sangat kuat dan sehebat mereka.. prajurit-prajurit profesor Mentari yang lain yang amat mengagumkan. Aku bersungguh-sungguh berharap tubuhku ini suatu saat bisa dirasuki iblis, tentu aku akan menjadi sangat kuat, Bukan manusia lemah yang payah dan tidak bisa apa-apa. Tapi itu hanya harapan. Mungkin iblis yang kuharapkan merasukiku itu pun tidak pernah ada. namun aku terus berharap itu kelak akan terjadi.
Payah, lemah, dan kesepian itulah hidupku. Aku membenci semua orang yang lebih kuat, yang lebih hebat dariku. Delima, Jelita, Melati, Dara, dan Sukma. Aku tidak pernah bicara dengan mereka. Mereka pun tak pernah menyapaku. Aku tahu mereka juga tidak menyukaiku karena aku payah. Kami semua sebaya dan sama-sama kehilangan orang tua. kami dibesarkan profesor Mentari dan dilatih sejak dini menjadi prajurit. Hanya saja dari mereka semua tidak ada yang sepayah aku ini.
Mereka.. tidak ada yang bicara atau mengejekku. Tapi tatapan mereka semua mengatakan segalanya. Aku sangat tahu dan itulah yang membuatku begitu membenci mereka. ironisnya aku justru tak pernah berani menatap mereka semua saat sarapan atau makan siang di ruang makan yang sama. Aku tidak mau menatap mereka. Tidak peduli dan tidak ingin melihat wajah mereka semua. Aku terlalu takut dan rasanya akan mati jika mendapati tatapan-tatapan sinis mereka lagi.
“Aku tidak mengerti bagaimana dia ada disini?... orang sepayah itu untuk apa berlatih bersama kita?” pemuda 17 tahun berkarisma dan bertubuh tegap perkasa bicara dengan nada ketus yang sama elegannya dengan kharisma yang dia miliki saat kami semua hampir menyelesaikan latihan menembak kami. Namanya Panji Anugerah Jiwa. Dia adalah salah satu yang terbaik dari regu tembak laki-laki. Mendengar ucapan darinya itu aku merasa di tampar.
“Setidaknya dia punya ingatan masa kecilnya... dia juga punya kenangan tentang orang tuanya yang tidak pernah kita punyai!” gadis berparas jelita tiba-tiba bicara tanpa ingin membelaku. aku tahu dia satu-satunya anak yang sangat iri padaku karena dia tidak pernah bisa mengingat masa lalunya, masa kecilnya yang sangat ingin dia ingat dan bisa dikenangnya. Lalu semuanya kembali diam. Mereka tidak suka bicara. Mereka hanya suka berlatih dan melakukan hal yang membuat mereka tampak hebat.
Latihan menembak selesai. seperti biasa tidak ada kemajuan. Aku masih diriku yang payah. sedang mereka semua kembali mendapatkan nilai menembak dengan sempurna. Penembak-penembak jitu itulah mereka semua, sementara aku... apa aku ini?... mengapa bisa aku ada disini? sedangkan aku tidak bisa apa-apa. Target sasaran tembakku setiap berlatih sungguh tidak ada yang tepat apalagi sempurna. Untuk apa aku ada disini?... aku baru menyadari kalau aku bisa ada disini sedang kan aku sangat payah dan tidak sedikit pun memenuhi kriteria seperti mereka semua. jadi, apa yang membuatku harus ada disini? mendadak aku ingin pergi. aku merasa semakin buruk. Aku berhenti latihan dan mengurung diri sepanjang hari di barak. Aku ingin bicara dengan profesor Mentari. Dia menghilang selama berminggu-minggu. Dia terlalu sibuk dengan risetnya. Aku harus menanyakan padanya kenapa dia membawaku ke tempat ini dan memaksaku untuk berlatih seperti para prajuritnya sedangkan aku lemah dan tidak bisa apa-apa.
“Kenapa kau tidak mau keluar dan berlatih seperti biasanya?” pelatih prajurit-prajurit profesor Mentari mendatangiku dengan wajah agak kesal namun terlihat cukup peduli.
“Percuma aku berlatih!... aku tidak akan pernah sama seperti mereka... aku payah!” jawabku menyerah dan benar-benar ingin bungkam.
“Ya, aku tahu. kau paling lemah dan kau sama sekali tidak sehebat mereka... tapi yang kusenangi darimu kau tidak pernah berhenti berlatih... hanya saja sekarang kau tiba-tiba mengakui kalau dirimu payah!... aku sangat benci itu!” katanya dan wajah tenangnya menunjukkan rasa kecewanya kepadaku.