Terbangun lagi. Tidak dalam keadaan sekarat lagi. Kekecewaan memenuhiku lagi. Aku marah sekali. Kenapa aku tidak mati? Kenapa mereka semua tidak membiarkan aku mati? Emosiku memuncak lagi. Dengan kekecewaan dan kemarahan yang tak tertahankan aku melepaskan semua alat-alat bantu napas, ,dan semua slang yang terhubung di tubuhku. Aku mengamuk melemparkan benda-benda itu. Aku benci. Sangat membenci keberadaan diriku lagi. Tak berapa lama dokter dan perawat yang merawatku menenangkanku. Percuma! Aku terlalu berang. Mereka kewalahan menghadapiku. Saat itulah Profesor Mentari masuk dan menghampiriku tanpa bicara.
“kenapa kau tidak membiarkan aku mati?” aku bertanya. Menatapnya kecewa dan penuh amarah.
“karena aku membutuhkanmu!” jawaban darinya setenang wajah berwibawanya.
“apa?.. jangan bercanda!.. kau tidak mungkin membutuhkan orang payah seperti diriku!” bantahku kesal. Frustasi menguasai penuh diriku.
“Aku benar-benar membutuhkanmu Pelangi!.. karena itulah aku membawamu dan menjadikanmu prajuritku!” Profesor Mentari kembali mengatakan sesuatu yang membuatku naik pitam.
“Kau tidak mungkin membutuhkan prajurit lemah payah, dan tidak bisa apa-apa sepertiku..kau berbohong!” Tudingku semakin frustrasi dan juga semakin marah.
“Dengarkan aku Pelangi!.. aku benar-benar membutuhkanmu!.. aku akan memberitahumu setelah kau sembuh!” Profesor Mentari menegaskan. Dia tidak suka aku membantahnya.
“Jangan pernah mencoba bunuh diri dan mengecewakanku!..jika kau ingin tahu mengapa aku membutuhkan dirimu maka kau harus menenangkan dirimu dan segera sembuh!. Kau mengerti!!” ucapan tegasnya kembali kudengar juga tatapan tajamnya yang penuh kekuasaan. Lalu ia pergi meninggalkanku. Langkahnya tampak ringan, tenang, dan ia memang begitu berwibawa. akhirnya aku terdiam. Terus memikirkan mengapa Profesor Mentari membutuhkan aku? Dia tidak mungkin berbohong. Tapi aku juga bingung bahkan penasaran. Aku harus mendapatkan jawabannya! Aku harus sembuh. Aku harus tahu rahasia apa yang di sembunyikan oleh profesor Mentari. Jika memang dia membutuhkanku, apa alasannya?
Aku penasaran sekali dan tak bisa berhenti memikirkannya. Namun memikirkannya mampu menenangkanku. Aku bisa diam sepanjang hari meski dalam keadaan sibuk melamun. Beberapa hari di infus di ruang perawatan setelah meninggalkan intensif care unit. Namun makan yang sangat sedikit membuatku terlihat kurus dan sangat payah. Aku ingin tahu apa Profesor Mentari masih serius membutuhkanku jika fisikku justru menjadi semakin payah sekarang.
Sepekan sudah. Aku mulai membaik. Diam dan hanya melamun sepanjang hari lebih membosankan dari yang pernah aku lakukan selama ini. Rasanya satu minggu terasa begitu lama. Aku sangat ingin segera bertemu Profesor Mentari dan mendapatkan jawaban darinya. Aku sudah tidak sabar lagi.
Dua pekan berlalu hidupku seperti terulang. Aku kembali ke Barak lagi. Aku belum bertemu Profesor Mentari. Kata Bu Tri Raya pelatih kami, dia pergi karena ada urusan yang sangat penting dan dia belum kembali sejak dua pekan yang lalu. Aku teramat bosan menunggunya. Bahkan di hari pertamaku kembali aku sebagai prajuritnya, aku harus bertemu mereka semua lagi dan sarapan bersama di ruang makan yang sama. Hari ini aku diharuskan untuk kembali latihan lagi. Aku tidak pernah membayangkan kalau aku harus bertemu dengan semua orang yang ingin aku bunuh. Lagi..sial! Mereka menatapku tajam. Sangat tidak nyaman mereka mengamatiku. Menyambut kehadiranku dengan wajah serius mereka.
“Bagaimana keadaanmu?” Gadis bernama Dara bertubuh tinggi ramping bertanya sekaligus menyapaku. Tidak salah?..
Dia tampak peduli dan tidak berbasa-basi. Rasa malu dan payah kembali kurasakan. Aku tertunduk. Lidahku kelu. Aku tidak mampu bicara. Kemudian yang lainnya berdatangan menghampiriku. Ada Bara si rahang keras, Bakti si kalem yang tampak selalu tenang, Agra yang terbaik dari seluruh prajurit dalam kemampuan menembak, Raga si jago bela diri terbaik, kemudian Panji yang berbaik hati menembakkan peluru di kakiku dan perutku kemarin. Kurasa dialah orang yang paling baik padaku karena nyaris memenuhi keinginanku untuk mati saat itu.
“Maafkan aku karena hampir membunuhmu..tapi sat itu kau membahayakan semua orang..” Aku benar-benar tidak percaya mendengarnya. Tapi orang itu memang sedang mengucapkan permintaan maafnya. Dia tampak peduli dan tulus.
“Kami berharap kau tidak putus asa lagi!” Dia mewakili semua teman-temannya untuk mengutarakan rasa simpati mereka. Aku semakin tidak percaya. Rasanya seperti tersambar petir. Benarkah mereka ingin aku hidup? Benar-benar bersimpati kepadaku?
Aku kaget,bingung,dan heran. Aku tidak mengerti karena tidak bisa mempercayai apa yang terjadi ini.
Berhadapan dengan Panji jelas perbedaannya. Dia begitu tinggi dan kokoh. Sementara aku kecil,pendek,dan sekarang tampak kurus. Bisa dikatakan aku prajurit dengan tubuh terkecil disini. Itulah yang membuatku merasa begitu payah berhadapan dengan mereka
“ Jangan khawatir Pelangi!.. kami semua memaafkanmu!” Panji kembali berkata lalu dia tersenyum kepadaku. Senyuman yang tulus. Sama tulusnya dengan wajah bersimpati Bara, Bakti, Agra, Dara, Delima, Melati, Sukma, Jelita, dan Raga. Mereka semua pun juga tersenyum untukku.
Aku menatap bingung mereka semua. Rasanya aneh sekali. Lebih buruk dari merasa asing dan payah. Aku tidak tahu harus bagaimana?
Aku bingung. Pikiranku yang kacau menjadi lebih kacau. Perasaanku juga sama buruknya. Akhirnya aku berlari kencang. Aku kabur ke dalam hutan.
Aku masih ingat peristiwa dua pekan yang lalu. Aku sengaja mengamuk menembakkan peluru-peluru ke mana-mana tapi tidak untuk menghabisi mereka semua. Aku memancing mereka semua untuk menghabisiku. Itulah yang kulakukan saat itu. Tapi nyatanya aku tidak mati dan sekarang aku bertemu mereka lagi. Rasanya buruk sekali. Aku menangis. Merasa bodoh dan menyesal. Aku jugs merasa sangat malu. Kenapa ini harus terjadi kepadaku?
Aku kembali teringat pada ucapan Profesor Mentari. Terngiang kembali dan bayangan wajah para prajurit yang tak ingin kusebut teman-temanku itu terus muncul di pelupuk mataku. Segalanya terasa penuh kekacauan.
Aku tahu tidak sulit menemukanku sembunyi di hutan. Dara menggandengku meninggalkan hutan. Gadis cantik yang selalu mengikat rambutnya dengan sangat rapi itu berubah menjadi hangat. Aku heran setelah aku hampir mati semua orang justru berubah menjadi baik padaku.
“Aku belum pernah melihat orang seberani dirimu..” katanya penasaran tapi terdengar lebih mirip seperti pujian.
“Apa maksudmu?” tanyaku masih kaku dan ragu. Pertanyaanku itu pun kuutarakan karena didorong rasa kagetku.
“Ya, kau sengaja menodongkan senjata dan berpura-pura menembaki kami semua agar kami membunuhmu.. kau sangat serius melakukannya dan kau sama sekali tidak ketakutan saat Panji menembak kakimu kau justru menjadi jauh lebih berani.. tapi apa yang membuatmu begitu putus asa dan ingin kami semua membunuhmu?” Dara bertanya serius sekali dan juga tampak sangat penasaran. Aku terdiam tapi aku tidak ingin memendam perasaan yang begitu menyiksaku begitu lama dan begitu hebat ini. Aku harus mengatakannya.