Tugas ini sebenarnya tidak berat. Aku hanya harus mengendalikan drone dari jauh untuk melihat apa yang terjadi pada semua pasukan musuh.. tapi terasa berat karena aku terlalu sedih dan tidak bisa berhenti menangis. Di hari terakhir aku bertemu Panji dia memberitahuku tentang perasaannya pada Pelangi.
“Dara.. sebenarnya sejak kecil aku sudah mencintainya!.. haruskah aku kehilangan dia?” ia berkata sekaligus bertanya. Ia kelihatan begitu gelisah dan sedih. Saat itu adalah saat terburuk dalam hidupku. Aku sangat terkejut. Hatiku patah. Aku menderita sekali. Hingga kudengar kabar Panji tewas karena Pelangi.
Sama seperti Panji. Jika dia mencintai Pelangi sejak kecil, maka aku juga mencintai dia sejak kami masih kecil. Dan perasaanku ini tidak mudah terhapus kan. Aku merasa sangat kehilangan dirinya. Aku merasa kehilangan segalanya.
Meski rapuh dan hancur aku harus menyelesaikan tugas ini. Memastikan semua pasukan musuh telah berubah menjadi zombi. Aku harus bisa!.. aku juga harus melakukan pengorbanan demi kemerdekaan negara kami. Aku tidak boleh lemah!
Kamera drone yang aku kendalikan terus merekam keadaan di medan perang. Suasananya sudah seperti seharusnya. Kacau sekali. Prajurit-prajurit yang terinfeksi menyerang brutal teman-temannya sendiri. Mereka menyerang untuk menggigit prajurit-prajurit yang masih bertahan dan waspada, mereka ini terus menerus menembaki teman-temannya yang terinfeksi. Akan tetapi pelan tapi pasti tempat itu berubah menjadi lautan zombi berseragam prajurit. Mereka begitu brutal, buas dan kelaparan. Mereka memangsa dan memangsa prajurit-prajurit yang masih tersisa. Mereka yang tersisa, terdesak dan putus asa.
Selesai sudah. Gambar yang terekam di kamera drone aku kirimkan melalui laptop ke Profesor Mentari. Aku harus segera meninggalkan tempat ini. Helikopter yang Bakti kemudikan sudah datang menjemputku. Segera kami meninggalkan tempat itu.
Aku kembali merasakan kesedihan lagi lebih mendominasiku seusai aku menyelesaikan tugasku. Aku juga merekam gambar yang membuatku sempat syok. Pelangi.. dia yang begitu kuat dan seperti tidak bisa dihancurkan oleh ratusan peluru itu pun akhirnya mati. Mungkin sudah seharusnya begitu. Dia mungkin memang harus mati. Lagi pula tugasnya sudah selesai. Tanpa aku sadari aku membenci Pelangi dan merasa senang ia tiada. Melihatnya mati sedikit menghiburku.
“Kita sudah berhasil bukan?” Bakti bertanya antusias pada ibunya, Profesor Mentari.
“Ya.. tapi ini baru awalnya.. tidak semudah itu mereka menyerah!.. kita masih harus bekerja keras untuk merebut negara kita!” penjelasan sang ibu adalah fakta. Memang seperti itu kebenarannya.
“Pelangi sudah melakukan pengorbanan yang sangat besar dan masih dibutuhkan pengorbanan seperti yang ia lakukan lagi!” lanjut Profesor Mentari dan si tampan Bakti yang rupawan itu menjadi bingung.
“Maksud Anda Profesor?..” tanyanya bingung.
“Sekarang aku membutuhkan pengorbananmu Bakti!” jawaban Profesor Mentari mengungkap segalanya.
“Aku sudah mendapatkan metode terbaik untuk menggunakan virus Mentari, karena itu aku akan memberikanmu virus itu dan menjadikanmu prajurit impianku berikutnya!” penjelasan dari Profesor Mentari membuat kami semua terkejut. Anehnya Bakti tidak. Ia tidak keberatan. Aku tidak mengerti kenapa dia selalu tenang dan masih setenang itu setelah Profesor Mentari mengutarakan itu semua.
“Profesor.. aku bersedia berkorban untuk kemerdekaan kita!” Bakti tidak ragu sedikit pun untuk menerima keputusan ibu kandungnya. Ia siap mengorbankan diri demi kemerdekaan negara kami.
Aku paling tidak menyukai air. Apalagi sungai dan danau. Bagiku sungai dan danau itu tidak berbahaya tapi bisa menelanku. Karena waktu kecil aku hampir mati tenggelam, tapi Profesor Mentari menyelamatkanku sehingga aku masih ada disini. Pikiranku benar-benar kacau setelah mendapati keputusan Profesor Mentari. Kegelisahan dan rasa sedih yang hebat mengguncang jiwaku. Karena itu lah aku berusaha menenangkan diri bahkan pergi ke tempat yang paling tidak aku sukai ini, hanya untuk menumpahkan kegelisahanku. Aku harus mencegah Bakti mengorbankan diri!.. dia tidak boleh bernasib sama seperti Pelangi!.. aku ingin dia hidup. Aku ingin dia menikmati kemerdekaan yang kami raih nanti. Apa pun akan aku lakukan untuk Bakti. Aku ingin dia bahagia. Tidak berakhir seperti Pelangi.. tidak boleh!.. aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi! Aku akan menggantikan Bakti. Harus!.. masih belum terlambat!.. dan aku harus bisa menggantikan dia!
“Kenapa kau memaksa bertemu denganku Jelita?” Profesor Mentari tidak senang dengan sikapku yang agak aneh terhadapnya.
“Aku ingin menggantikan Bakti!.. kau bisa kan menjadikan aku seperti Pelangi juga?” kukatakan apa yang sebenarmya aku inginkan. Membuat perempuan berusia 40 tahun itu menatap tajam padaku.
“Kau tidak perlu lakukan itu!.. setelah Bakti melaksanakan tugasnya kau juga akan aku berikan tugas yang sama.. kau hanya perlu menunggu!” beritahunya tak suka aku bersikap nekat seperti ini untuk mencegahnya.
“Aku tahu!.. tapi aku ingin lebih dulu berkorban untukmu!.. kau hanya perlu menunda Bakti melaksanakan tugasnya!..” aku tetap bersikukuh ingin menggantikan Bakti.
“Kenapa kau ingin menggantikan dia.. kau tahu kan dia putraku?” terlalu serius ia bicara. Tatapannya begitu menginginkan jawaban yang jujur dariku.