ZOMBI DAN MEREKA YANG TAK BISA MATI

Meliana
Chapter #9

Ketika Mereka Memilih

Ibuku. Aku tahu. Ibu masih punya sisi baik. Aku hanya belum memahaminya. Karena aku tidak tahu apa yang menimpanya di masa lalu. Namun saat aku menyadari anti virus itu telah bekerja dan tidak seperti yang kuharapkan aku juga harus menyadari sisi lain dari ibuku, dan hal lain tentang anti virusnya. Anti virus Mentari tidak akan bisa mengobati infeksi akut karena virus Mentari yang sudah terlalu lama menginfeksi. Dan akhirnya aku tahu bersamaan dengan tubuhku yang meledak lalu hancur. Aku Bakti Putra Pernah menyesal jika aku mati. Terbunuh oleh anti virus jauh lebih baik daripada hidup sebagai monster pembunuh.

 

Wajah aslinya adalah sang dendam dan sakit hati. Profesor Mentari lebih menggila dan bisa tampak kalap seperti perompak.

“Kakak... aku tidak main-main!... aku akan menembakkan anti virus ini pada putrimu jika kau menolak permintaanku!” ancamnya dingin dan menakutkan.

“Tidak ayah!... jangan lakukan itu!... kedamaian adalah hal terpenting dalam kehidupan ini!” Pelangi menggeleng keras saat ayahnya ingin menyetujui persyaratan dari Profesor Mentari untuk melepaskan Pelangi jika sang ayah mau melakukan kudeta untuknya.

“Dara kumohon bawa ayahku pergi dari sini!” Pelangi berteriak padaku. Aku tahu aku memang sedari tadi ingin melakukannya. Membawa komandan Awan kabur dari sini. Hanya saja aku ragu dan mengkhawatirkan Pelangi. Tapi sudah segenting ini dan Pelangi juga sudah terlanjur nekat maka aku pun tidak punya pilihan lain. Aku terpaksa membuat komandan Awan pingsan dan menggendongnya lari dari Profesor Mentari. Detik-detik terakhir kulihat Pelangi berhadapan langsung dengannya. Begitu bengis dan kasar Pelangi menyerang Profesor Mentari dengan segenap kekuatannya setelah berubah menjadi prajurit impian. Tubuh perempuan itu terlempar jauh dan terbanting begitu keras. Dan jika dia masih manusia, tulang-tulangnya tentu remuk dan dia tewas seketika. Tapi ternyata tidak, dan tentu saja memang tidak. Dia bangkit. Dia murka. Dia membalas. Sial! Kenapa aku baru tahu sekarang kalau Profesor Mentari itu juga bukan manusia biasa lagi. Ternyata dia juga menggunakan virus buatannya dan mengubah dirinya jauh lebih dulu daripada kami. Hebatnya dia terlihat sangat manusiawi dan tidak pernah tampak istimewa seperti kami. Hanya saja serangan dari Pelangi tadi telah mengungkap sisi lain dari dirinya yang selama ini tidak kami ketahui.

Aku terpaku dan tersadar seketika ketika tubuh Pelangi yang ia lemparkan kearahku  membuatku tanpa sadar menoleh. Meski tidak tega, aku berlari kencang meninggalkan Pelangi. Aku lari dan lari tanpa menoleh lagi. Aku tahu Pelangi masih bisa menahan perempuan itu untuk mengejarku dan merampas komandan Awan dariku. Tapi satu hal yang membuatku sedih sekali, dan itu ketika aku menyadari dan terasa pasti, Pelangi tidak akan selamat dari perempuan jahat itu.

Aku tidak perlu cemas jika tubuhku dibanting maupun di lempar berkali-kali oleh perempuan itu. Yang aku cemaskan adalah jika ia menggunakan anti virus padaku, maka aku akan tamat. Jadi aku harus berusaha keras merebut anti virus itu darinya.

Sangat tahu apa yang kumau darinya, perempuan itu tidak memberikan ampun. Dia menendang tubuhku seperti bola yang harus dihancurkan.

“Pelangi... menyerahlah!... biarkan ayahmu melakukannya untukku... karena aku sama sekali tidak ingin membunuhmu!” perempuan gila itu mengatakan apa yang dia mau. Tapi sampai kapan pun, aku tidak akan mematuhinya lagi. Aku tidak akan pernah berpihak pada orang yang ingin menghancurkan kedamaian dunia demi mencapai tujuan balas dendamnya.

“Lakukan saja Profesor!... berikan aku anti virusnya jika kau mau...” aku tidak peduli pada bujukan maupun ancaman darinya. Aku sudah bertekad. Aku sudah memilih dan pilihanku adalah kedamaian untuk umat manusia. Aku yakin semua penderitaan hanya akan bisa dihapuskan oleh kedamaian. Maka aku harus berjuang. Aku pun rela berkorban.

“Jadilah tawananku yang manis... ayahmu pasti akan menyelamatkanmu!” dalam jarak yang sangat dekat perempuan itu menodongkan senjata berisi anti virus yang siap ditembakkan padaku.

“Percuma Profesor!... kau hanya membuang-buang waktumu saja!... lebih baik kau tembak aku dengan anti virus itu!” aku mendesaknya. Sinis dan sengaja meremehkannya.

“Tidak!... kau sangat berharga dan harus aku jaga!” ia pun menangkap kedua tanganku dan nyaris saja dengan kekuatannya yang luar biasa ia berhasil memasang borgol ciptaan terbarunya. Sayangnya aku lebih dulu bertindak dan menendang keras sekuat tenaga yang aku punya kaki perempuan itu. Hasilnya aku ternyata berhasil membuat kakinya benar-benar patah. Satu kesempatan lagi aku pun merebut senjata yang dia pegang. Lalu aku menodongkannya padanya dengan amarah yang meluap. Perempuan itu terbelalak murka.

“Katakan apa aku harus mengampunimu” tanyaku sengaja mengatakan betapa bencinya aku padanya. Tatapan dingin dan kejam kembali terpancar dari tatapan perempuan itu. Namun anehnya ia tiba-tiba mentransfer perasaan yang dirasakannya selama 15 tahun ini. Perasaan terluka, sakit hati, kesedihan yang dalam bahkan putus asa.

Setiap ambisinya patah, Profesor Mentari yang teringat mendiang suaminya selalu dibangunkan oleh amarah dan sakit hatinya untuk tidak boleh berhenti. Dia pun setiap merasa putus asa dan ingin berhenti akan diingatkan oleh penderitaan dan nasib malang suaminya. Akhirnya ia memutuskan untuk terus hidup dan berjuang demi membalas dendamnya.

“Selama aku masih bernapas aku tidak akan bisa dihentikan!” janjinya pada dirinya sendiri untuk berjuang hingga akhir. Sejenak aku dipenuhi kesedihan yang mendalam saat merasakan apa yang ia rasakan. Namun ketika ia berhenti mentransfer apa yang ia rasakan selama bertahun-tahun, saat itu juga dia merebut balik senjata miliknya.

“Maafkan aku Pelangi... tapi ini adalah pilihanmu sendiri!... aku hanya memberikan apa yang telah menjadi pilihanmu!” ia berucap lirih. Kemudian ia menembakkan senjata berisi anti virus itu. Dengan begitu cepat peluru anti virus itu masuk menembus jantungku.

“Terima kasih karena membiarkanku memilih!” ucapku tersenyum bahagia sebelum rasa sakit merenggut seluruh diriku dan menghancurkan ragaku.

Aku menatap tenang padanya. Tidak ada amarah, tidak ada kebencian bahkan tidak ada penyesalan atau kesedihan. Yang aku rasakan hanya kedamaian yang Aku butuh kan. Dendam dan putus asa sudah binasa.

“Selamat tinggal Pelangi!” ucapnya padaku dan air mata kesedihan jatuh di pipinya. Aku masih bisa merasakan apa yang dia rasakan. Semua karena pilihannya sendiri. Dia harus melanjutkan hidupnya lagi demi pilihannya itu. Aku menghargai apa yang dia pilih seperti dirinya yang telah menghargai pilihanku.

Lihat selengkapnya