Di tengah hamparan lautan Arctic yang sunyi, NOASES 01 perlahan berlayar membawa beban yang tak hanya berat di fisik, tetapi juga di pikiran para awaknya.
Bongkahan es besar yang menyumbat lambung kapal, membuat keseimbangan kapal terganggu.
Sementara, Kapten Eiji Hideaki berdiri tegak di anjungan, matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya berkecamuk.
Di balik keheningan dan dinginnya lautan, ada sesuatu yang lebih dingin lagi yang mengintai di balik es itu—siluet tubuh manusia yang terperangkap dalam waktu beku.
"Jangan bongkar bongkah es ini!" tegas Kapten Eiji, suaranya mantap memecah kebekuan suasana.
"Kita masih sempat membawanya ke sebuah tempat yang aman. Es ini akan mencair dalam tempo paling cepat tiga hari. Kita masih bisa berlayar selama waktu itu dan mencari galangan kapal untuk memperbaiki lambung NOASES 01."
Para awak kapal menanggapi perintah Kapten dengan serius, meskipun rasa cemas tak bisa disembunyikan dari wajah mereka. Mereka tahu betapa pentingnya mematuhi perintah ini.
Fumio, Mualim I, segera membuka peta dan mengakses informasi melalui internet satelit, mencari pelabuhan terdekat yang memiliki galangan kapal.
Hanya ada satu tujuan yang realistis dalam jarak tempuh mereka—Reykjavik, ibu kota Islandia. Sebuah kota yang sepi di ujung dunia, tetapi tetap menawarkan harapan di tengah situasi yang genting ini.
Kapal NOASES 01 pun mulai berlayar menuju Reykjavik dengan kecepatan sedang.
Kapten Eiji tahu bahwa memacu kapal dalam kecepatan tinggi akan sangat berisiko.
Lambung kapal yang rusak, beban es yang mengganggu keseimbangan, dan mesin kapal yang tidak dalam kondisi optimal membuat mereka harus ekstra hati-hati.
Namun, cuaca semakin memperburuk keadaan. Mendung hitam yang menggantung di cakrawala memberikan pertanda bahwa badai besar akan segera datang.
Di ruang mesin, Chief Engineer Daeki Yoshino memandang dua mesin besar Mitsubishi yang menjadi jantung kapal dengan penuh kecemasan.