Malam itu, di bawah langit kelam yang hanya diterangi oleh cahaya bulan purnama, perahu kecil mereka meluncur perlahan di atas arus deras Sungai Zaire. Suara gemericik air seolah menggema, memberikan nuansa misterius yang semakin mencekam.
Mabu, pria paruh baya yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di hutan, berjuang keras untuk mengarahkan kemudi perahu motor yang sudah usang. Tubuhnya menggigil hebat, bukan hanya karena dinginnya malam, tetapi juga karena demam yang makin mengganas.
Setiap gerakan yang ia lakukan terasa berat, seolah-olah energinya telah tersedot habis oleh suhu tubuh yang terus meningkat.
Di depan perahu, Dokter Aeshe berdiri dengan raut wajah penuh kegundahan. Sejak kejadian mengerikan di kamp Golden Wood Company, bayangan-bayangan peristiwa itu terus menghantuinya. Wajahnya pucat, namun pandangannya tetap fokus pada sungai yang membentang luas di depan. Sesekali, ia mengusap keringat dingin yang menetes dari dahinya.
"Itu pembantaian!" teriaknya, suaranya serak dan penuh emosi.
Ia kemudian merogoh saku bajunya dan mengambil sebuah gawai. Jaringan seluler biasanya sulit ditemukan di hutan belantara Afrika, tetapi Sungai Zaire yang besar memberikan sedikit harapan.
"Ah, syukurlah ada sinyal!" katanya lega.
Tanpa menunggu lebih lama, ia segera menekan nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala. Di ujung lain telepon, terdengar suara gemerisik, pertanda sinyal yang tidak stabil.
"Hugo... ada kekacauan. Bisakah kamu membantuku?" Aeshe berbicara cepat, nada suaranya penuh kepanikan. Ia tahu waktu sangat berharga, dan ia tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan semuanya.
Sinyal semakin lemah, membuat percakapan mereka terputus-putus. Namun, sebelum sinyal benar-benar hilang, Dokter Aeshe sempat memberikan perintah kepada Mabu untuk memindahkan perahu ke tepi sungai.
Mabu menurut, meskipun tubuhnya semakin lemah, dan ia hampir tidak memiliki tenaga tersisa.
Setelah memastikan perahu terikat dengan aman pada batang pohon besar di tepi sungai, Mabu meringkuk di pojok perahu, berusaha melawan rasa dingin yang semakin menusuk tulang.
Sementara itu, Dokter Aeshe tidak terlalu memperhatikan keadaan Mabu. Ia sibuk mencari sinyal untuk kembali terhubung dengan Hugo. Setelah beberapa saat, gawainya kembali bergetar.
"Ah, oui Hugo. Maafkan, ada keadaan darurat," katanya cepat saat sinyal kembali normal.
"Di kamp kecil tempatku bekerja terjadi kekacauan besar," lanjutnya, berusaha menceritakan segala yang terjadi.
Hugo, seorang rekan medis yang bekerja di Jenewa sebagai anggota staf ahli Intatioal Health Authority (IHA) bagian mitigasi penyakit menular, mendengarkan dengan seksama dari kantor yang nyaman di Jenewa.
Meski sangat cerdas, Dokter Aeshe memilih untuk bekerja sendirian di hutan, jauh dari kemewahan dan kenyamanan kota.
Hugo mendengarkan setiap detail yang diceritakan oleh Aeshe, merasa ngeri dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Kejahatan paling apik dan rapi," kata Aeshe dengan suara bergetar, "dilakukan di farmasi dan meja birokrasi."
Hugo terdiam sesaat, lalu bertanya dengan nada serius, "Jadi, gejala yang dialami oleh semua yang terinfeksi itu sama?"