Dokter Aeshe menyandarkan punggungnya ke dinding kafe yang dingin, menekan tubuhnya agar tidak terlihat dari luar. Matanya terus mengawasi dua sosok yang berjalan di seberang jalan. Tuan Jones dan Denies tampak menyelidiki sesuatu, namun apa yang mereka cari masih menjadi tanda tanya besar bagi Aeshe. Sesekali, dia merasakan ada yang aneh, tetapi tidak tahu pasti apa itu.
Pikiran Aeshe terhenti saat melihat bayangan gelap melintas cepat di depan kafe, mengikuti langkah Tuan Jones dan Denies. Dengan jantung berdebar, Aeshe mengenali sosok itu. Mabu! Pria yang selama ini ia cari.
Tanpa pikir panjang, Tuan Jones dan Denies langsung mengejar Mabu, yang berlari menuju ujung jalan. Aeshe bisa melihat dengan jelas dari jendela, bagaimana Mabu dengan lincah melintasi jalanan yang sibuk, sementara Tuan Jones dan Denies tertinggal jauh di belakang, tak mampu mengimbangi langkah cepatnya. Dalam hati, Aeshe hampir saja tersenyum geli melihat adegan itu, tetapi senyumnya sirna seketika ketika ia melihat empat orang tak dikenal menahan Mabu di ujung jalan.
Mabu meronta-ronta, berusaha melawan, namun tak ada yang bisa ia lakukan melawan empat orang yang tampaknya sangat terlatih. Aeshe melihat semuanya terjadi dengan jelas, dari Mabu yang diikat, hingga ia ditarik masuk ke dalam sebuah van hitam yang berhenti di dekat mereka. Suara mesin van itu menghilang di kejauhan, menyisakan kesunyian di jalan yang sebelumnya riuh.
Aeshe merasakan gelombang kepanikan mulai merayap dalam dirinya. Ia menutup mulutnya agar tidak berteriak, berusaha menenangkan diri. "Aku harus melakukan sesuatu," pikirnya. Dengan cepat, ia mengambil smartphone-nya dan mengambil beberapa foto kejadian itu sebelum beranjak dari tempatnya. Ia tahu, waktu adalah musuh terbesarnya saat ini.
Setelah meletakkan tagihan di atas meja dengan permintaan maaf dalam hati, Aeshe meninggalkan kafe dengan cepat. Ia melihat peluang ketika menyadari salah satu tamu kafe meninggalkan ponsel di atas meja. Tanpa ragu, ia meraih ponsel itu dan bergegas memasuki gang kecil yang sepi.
Dengan tangan gemetar, Aeshe memutar nomor yang sudah sangat dihafalnya. "Hai Diar, ini Aeshe. Jangan banyak tanya, dengarkan saja," katanya dengan suara rendah namun tegas. Diar Yelena, teman lama yang bisa ia percayai, adalah satu-satunya harapan Aeshe saat ini.
Setelah mengirimkan beberapa foto kepada Diar, Aeshe merasa lega. Ia meletakkan ponsel yang dicurinya di tempat sampah dan segera menuju bank terdekat. Diar telah mengirimkan sejumlah uang untuknya, dan itu lebih dari cukup untuk rencana pelariannya. Tanpa membuang waktu, Aeshe langsung memesan tiket penerbangan ke Moskow.
"Aku harus keluar dari sini secepatnya," gumam Aeshe pada dirinya sendiri. Ia sadar bahwa keberadaannya di Pointe Noire tidak lagi aman. Terlebih lagi, setelah kejadian dengan Hugo dan semua orang di IHA, ia tahu bahwa tak ada tempat yang benar-benar aman. Namun, bertemu Diar di Moskow bisa memberinya sedikit perlindungan, atau setidaknya jawaban atas semua pertanyaan yang menghantuinya.