Aeshe melangkahkan kaki keluar dari bandara Sheremetyevo, Moscow, dengan hati yang bercampur aduk. Meski udara dingin menyergap kulitnya, pikirannya lebih disibukkan oleh berita mengejutkan dari Lydya dan ketegangan yang menyertainya.
Diar Yelena, sepupunya yang berwajah dingin namun ramah, menyambutnya dengan senyum tipis, lalu mengajaknya menuju mobil yang telah menunggu.
“Apakah ini tidak terlalu mahal, Diar? Aku rasa aku bisa hidup di hotel yang biasa saja,” kata Aeshe sambil memandang keluar jendela mobil menuju lanskap kota Moscow yang dihiasi salju.
"Tidak, Aeshe. Kau layak mendapatkan semua ini. Kau sedang memegang informasi sangat penting bagi kelanjutan ras manusia. Kami menghormati profesi dan dedikasimu," jawab Diar dengan nada tenang namun penuh penekanan.
"Kami?" Aeshe hampir bertanya, namun diurungkannya. Ia memilih untuk menahan rasa penasaran itu. Sekarang bukan saatnya menjadi penyelidik. Dia akan mengumpulkan bahan dan informasi sebanyak mungkin sebelum mulai berencana.
Apalagi berita dari Lydya yang sangat mengejutkan itu menambah kerumitan di kepalanya. Belum lagi urusan Mabu, teman seperjalanannya, yang sekarang berada dalam cengkeraman pihak-pihak misterius.
Setibanya di lobi hotel Savoy yang megah, Aeshe tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Lampu kristal menggantung tinggi, menciptakan kilauan yang hampir menyilaukan mata. Marmer putih mengkilap di bawah kakinya, menyiratkan kesan mewah yang tak terbantahkan. Namun di balik semua kemewahan ini, hatinya merasa tidak nyaman.
"Oh ya? Kapan kau bisa membagi informasi yang kau catat itu, Aeshe? Aku rasa itu penting untuk bisa menyusun rencana selanjutnya. Apalagi aset imun itu telah ditahan oleh DGSE. Aku pikir kita harus bertindak lebih cepat mulai sekarang," ujar Diar dengan nada yang terdengar memaksa.
Aeshe menatap mata Diar, mencari sesuatu di sana. Ada desakan, ada tekanan yang disampaikan lewat tatapan itu, dan Aeshe tidak menyukainya. Dia tidak terbiasa didesak, terutama oleh seseorang yang ia kenal baik.