Hotel Savoy, Moscow
Aeshe merapikan kembali isi tasnya dengan cermat, tangannya sedikit bergetar saat memikirkan apa yang baru saja terjadi. Buku catatan itu kini berada di tangannya, tetapi benaknya dipenuhi kekhawatiran. Mereka mungkin tidak menyadari betapa tidak bergunanya catatan ini, tapi jika mereka sampai tahu, hidupnya bisa berakhir dalam bahaya. Ia harus segera pergi, dan waktu adalah musuh terbesarnya.
Namun, ke mana harus melangkah? IHA di Jenewa? CDC di Amerika? MI6 di Inggris? Atau CIA? Setiap pilihan membawa risiko yang tidak kecil. Pikiran Aeshe berputar cepat, mencari skenario terbaik yang bisa dijalani tanpa membahayakan nyawanya. Akhirnya, satu nama muncul di benaknya: IHA, International Health Association. Di Jenewa, Aeshe mungkin bisa menemukan jawaban, meskipun itu berarti harus menghadapi Hugo, pria yang dikenal penuh konspirasi.
"Jenewa," Aeshe memutuskan. "Aku akan ke Jenewa."
Malam itu, Aeshe bergegas membereskan barang-barangnya. Dia memesan tiket penerbangan ke Jenewa, memilih waktu yang paling aman untuk menghindari perhatian. Setelah itu, dia segera meninggalkan Hotel Savoy, menghindari segala kemungkinan. Savoy bukan lagi tempat yang aman baginya. Ia memutuskan untuk pindah ke hotel kecil dan kumuh di dekat bandara, tempat yang jauh dari perhatian orang-orang yang mungkin sedang memburunya. Tak lupa, dia membeli handphone sekali pakai—alat komunikasi yang tidak bisa dilacak—untuk memastikan keamanannya tetap terjaga.
Lydya, pikir Aeshe. Dia adalah kunci utama dalam teka-teki ini. Semakin banyak yang bisa dipelajarinya dari Lydya, semakin besar peluang Aeshe untuk bertahan hidup dan menyusun rencana yang sempurna.
Yang tidak Aeshe ketahui adalah, beberapa menit setelah ia meninggalkan Savoy, kamar hotelnya kembali disatroni oleh sekelompok agen GRU. Kali ini, Diar ada di antara mereka. Mereka mencari sesuatu, namun hasilnya nihil—tak ada petunjuk yang mereka temukan.
Diar, dengan wajah tak terbaca, segera menelepon seseorang. “Dia sudah pergi. Catatan itu tidak berguna,” lapor Diar singkat.
Suara dingin di ujung telepon membalas, “Laksanakan Rencana Kedua. Kabari agen kita di Johannesburg!”
Tanpa menunggu lama, Diar memberi pengarahan kepada timnya. Mereka harus berangkat ke Brazzaville pagi-pagi sekali, untuk melanjutkan misi yang belum selesai.