Markas Besar IHA, Jenewa
Siang itu, langit Jenewa tampak cerah dengan sedikit awan putih yang menggantung malas. Di tengah gemerlapnya kota internasional ini, berdiri megah sebuah gedung modern dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Gedung itu adalah markas besar IHA, International Health Authority tempat berkumpulnya para pakar kesehatan dunia untuk menghadapi berbagai tantangan global.
Di dalam lobi utama gedung, seorang wanita berambut pirang berdiri dengan anggun. Penampilannya mencolok dengan jaket Armani yang berkelas, syal Hermes yang melingkari lehernya, dan tas jinjing Louis Vuitton yang ditentengnya. Wanita ini, Aeshe, tampak tenang meski matanya menyiratkan tekad yang kuat. Ia baru saja tiba dan langsung menuju resepsionis yang tampak gugup melihat sosoknya.
“Aku ingin bertemu Direktur Jenderal IHA sekarang juga,” ujar Aeshe dengan suara tegas namun penuh pesona. Resepsionis, seorang wanita berambut pirang juga, menatapnya dengan takjub dan sedikit iri.
“Maaf, Direktur Jenderal sedang sibuk. Ada beberapa rapat penting yang harus dihadiri hari ini,” jawab resepsionis itu dengan sopan, meski dalam hatinya menganggap Aeshe sebagai salah satu dari sekian banyak orang kaya yang kurang kerjaan.
Namun, Aeshe hanya tersenyum tipis. “Katakan padanya aku akan mendonasikan 1 Milyar Euro untuk penelitian Mollivirus sibericum. Jika dia tidak ingin menemuiku sekarang, aku akan pergi ke Solna, Swedia, dan menemui kolegaku di ECDC.”
Ucapan itu seketika membuat resepsionis itu kebingungan. Ia tahu betul apa itu Mollivirus sibericum, virus purba yang baru ditemukan dan berpotensi menjadi ancaman global. Sekarang ia berada di persimpangan antara menjadi pahlawan atau pecundang dalam tugasnya. Dengan gugup, ia mengangkat telepon di depannya.
“Direktur Jenderal akan menemuimu sekarang di kantornya. Aku akan mengantarmu, nyonya,” kata resepsionis sambil memberikan isyarat kepada Aeshe untuk mengikuti langkahnya. Aeshe merasa geli di balik wajah aristokratnya. Ia tahu betul penampilan dan nama besar dapat membuka banyak pintu.
Setelah tiba di kantor Direktur Jenderal, Aeshe disambut oleh seorang pria paruh baya dengan rambut putih yang tampak tegas namun cerdas. Aeshe menebak pria ini pasti berasal dari Timur Tengah.