Di tepi pantai yang tenang, di sebuah puri megah yang berdiri gagah di Cayman Islands, suasana dalam ruang rapat itu begitu tegang. Laki-laki yang selalu tampak murah senyum itu kini memperlihatkan kecemasan yang jarang terlihat.
Jemarinya yang kokoh meremas pinggiran meja kayu berukir, seakan berharap menemukan kekuatan dari benda mati itu. Matanya yang tajam menatap satu per satu anggota yang hadir, seolah mencari dukungan yang tersembunyi di balik wajah-wajah yang sudah sangat ia kenal.
“Kita akan mengambil suara. Siapa yang setuju untuk mengalokasikan segala sumber daya organisasi kita demi mencegah pergerakan IHA terhadap potensi pandemi ini, silakan angkat tangan kalian,” katanya dengan nada yang datar namun penuh otoritas.
Sepuluh orang di sekitarnya saling berpandangan, beberapa wajah tampak ragu. Mereka adalah orang-orang yang selama ini mendukung segala cara untuk mengendalikan populasi dunia, termasuk melalui perang dan wabah yang diciptakan dengan rencana matang.
Misi mereka sederhana namun mengerikan: menjaga keseimbangan antara populasi manusia dan kapasitas bumi yang mereka huni, bahkan jika harus menggunakan cara-cara ekstrem.
Organisasi ini, yang dikenal sebagai The Hand, adalah sebuah entitas super rahasia yang anggotanya adalah orang-orang terkaya di dunia. Mereka percaya bahwa jika populasi dunia tidak dikendalikan, maka bumi akan kehilangan keseimbangannya, dan mereka merasa bertanggung jawab untuk memastikan hal itu tidak terjadi.
Namun, di balik idealisme yang terdengar mulia, tersembunyi kenyataan kelam bahwa mereka siap melakukan apa saja, termasuk menciptakan wabah atau perang, untuk mencapai tujuan mereka.
Sang Ketua, yang telah memimpin organisasi ini selama hampir dua dekade, adalah seorang aristokrat dengan kekayaan yang tidak terhitung. Ia memiliki perusahaan raksasa berbasis energi terbarukan dan sangat membenci minyak fosil, sehingga lebih memilih tinggal di kastil-kastil mewah yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Di balik senyumnya yang ramah, tersembunyi ambisi besar dan ketegasan yang tidak bisa ditawar.
“Waktunya untuk mengambil keputusan,” lanjutnya dengan suara yang lebih rendah, namun penuh tekanan.
“Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan kesempatan ini. Dunia tidak akan pernah sama lagi jika IHA berhasil menghentikan pandemi ini.”
Perlahan-lahan, satu per satu tangan mulai terangkat. Sepuluh dari dua belas anggota akhirnya menyetujui usulan tersebut, meski dua orang masih tampak ragu. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi kurus dengan wajah pucat, akhirnya angkat bicara.
“Saya dan adik saya sebenarnya setuju, Ketua. Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus memastikan apa tindakan kita terhadap mereka yang mencoba menghentikan pandemi ini,” katanya dengan suara bergetar.
Sang Ketua tidak menatap langsung pria itu. Matanya masih tertuju pada lukisan besar di dinding yang menggambarkan tragedi Black Death di abad ke-14.