Suara mesin speedboat menggerung di atas air Sungai Zaire yang berarus deras, menyelimuti percakapan yang nyaris tenggelam di antara hembusan angin dan gemuruh air. Aeshe, seorang dokter yang dikenal dengan keteguhannya, mencoba tetap ramah kepada lelaki yang baru saja menyelamatkan mereka.
"Terima kasih," suaranya hampir tak terdengar. Aeshe berusaha menenangkan diri meskipun nalurinya mengatakan ada yang tidak beres. "Kau Galuh, bukan?"
Lelaki itu hanya mengangguk tipis, dan tatapan matanya dingin, seolah-olah kesedihan maupun kegembiraan bukan bagian dari hidupnya.
Aeshe mencoba tersenyum meskipun suasana di sekitar mereka jauh dari kata menyenangkan. "Apakah dua orang yang tadi hanyut pingsan?" tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya mungkin akan jauh lebih buruk dari yang ia harapkan.
"Mati!" jawab lelaki itu datar, tanpa perasaan sedikitpun.
Aeshe merasa tubuhnya merinding. Jawaban itu bagaikan angin dingin yang menelusup ke dalam kulitnya. Tiba-tiba, ia merasa ada sesuatu yang salah dengan pengawal yang dikirimkan oleh Dokter Galuh. Ini bukan pertolongan biasa, dan pengawal ini jelas bukan sembarang orang. Namun, dia menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh.
"Seharusnya kau tidak perlu membunuh mereka!" protes Aeshe akhirnya, tidak mampu lagi menyembunyikan kegundahannya. "Mereka hanyalah preman pelabuhan."
Zevin, lelaki pengemudi speedboat itu, menoleh sejenak. Wajahnya sedingkin es di kutub, kaku seperti batu.
"Ada dua penembak jitu yang bersembunyi, jika aku tadi tidak cepat, kalian mungkin sudah terbunuh, ada beberapa orang bersembunyi di perahu kecil berwarna biru," jawabnya singkat.
Kali ini, Kuina, dokter muda yang ikut bersama Aeshe, menunjukkan ketertarikannya. Aeshe sedikit heran melihat ketenangan Kuina. Tidak ada tanda-tanda keterkejutan atau ketakutan di wajah dokter muda itu, meskipun mereka baru saja melewati situasi berbahaya di pelabuhan.
"Apa kau tahu siapa mereka?" tanya Kuina, suaranya penuh rasa penasaran.