Bekas Camp Golden Wood Company, Congo Basin
Suasana di sekitar bekas camp Golden Wood terasa mencekam. Aeshe, dengan hati-hati, menangkupkan kedua tangannya di dada. Mata cokelatnya menatap penuh pengertian ke arah suku Pygmi yang berdiri di depannya. Dengan tenang, dia mulai berbicara dalam bahasa mereka.
“Kami tidak bermaksud mengganggu wilayah Anda, tuan-tuan. Kami hanya ingin kembali ke camp kami dan memeriksa apakah masih ada yang selamat dari kejadian mengerikan tempo hari.”
Salah satu dari mereka, seorang pria tua yang tampaknya adalah tetua suku, maju ke depan. Gerakannya lambat namun penuh wibawa. Ia meniru gerakan Aeshe, menangkupkan kedua tangannya di dada sebelum menjawab.
“Aku mengenalmu. Kau adalah dokter yang sering berbuat baik dengan mengobati orang-orang kami. Aku percaya kepadamu, tapi tidak dengan orang yang membunuh Leopard ini.” Tatapan tajam tetua Pygmi itu tertuju pada Zevin, yang sudah menurunkan senjatanya.
Zevin hanya diam, meski dalam hatinya ia merasa tak nyaman. Namun, Aeshe segera mengambil alih suasana.
“Dia melakukannya untuk menyelamatkan kami, Tetua. Pria ini hanya berusaha melindungi kami, Leopard itu nyaris memangsa kami, Sepertinya ia dalam keadaan lapar."
Tetua itu mengangguk-angguk pelan, ekspresinya sedikit melunak. Namun, ada kesedihan yang terpancar dari wajahnya saat ia menambahkan, “Kalau begitu, aku memaafkan pembunuhan itu. Itu hukum alam. Namun, Leopard ini sebenarnya sedang bersedih. Ia kehilangan anaknya yang baru berusia beberapa hari. Beberapa pemburu menangkap anaknya dan membawanya ke kota untuk dijual.”
Kata-kata tetua itu menghantam hati Aeshe. Ia tak perlu berpura-pura menunjukkan kesedihan, karena ia benar-benar merasakannya. Ia menundukkan kepala, merasakan beban moral yang berat di pundaknya.
“Saya ingin bertanya, apakah camp perusahaan kayu di bawah sana masih ada, Tetua?” Aeshe melanjutkan pertanyaannya dengan suara pelan, namun tegas.
Tetua itu menggeleng-gelengkan kepala dengan geram. “Semua sudah habis kami bakar. Termasuk mayat-mayat yang bertumpuk di sana. Jika tidak dibakar, bisa menimbulkan penyakit berbahaya karena mereka mati secara berbahaya. Kami sebenarnya sudah memperingatkan mereka.”
Nada suara tetua itu berubah menjadi lebih sedih, menggambarkan kekecewaan yang mendalam.