Penerbangan dari Johannesburg menuju Doha seharusnya menjadi perjalanan yang tenang dan tanpa gangguan. Namun, bagi Zevin, Aeshe, dan Kuina, kenyataan berbicara lain. Ketegangan menggantung di udara seperti pedang tajam yang siap menebas kapan saja.
Zevin bertindak cepat. Saat ia melihat gerakan mencurigakan di sisi lain kabin kelas utama, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Hanya dalam hitungan detik, dia beraksi. Satu-satunya hal yang menghalangi peluru dari senjata penembak mengenai Kuina adalah kecepatan Zevin.
Sebelum pelatuk itu sempat ditarik, Zevin sudah berhasil menjatuhkan pria bersenjata itu ke lantai. Namun, Zevin sendiri jatuh bersamaan dengan gerakannya, dan kakinya tersangkut pada pijakan kursi.
Penembak itu tidak menyerah. Dalam hitungan detik, ia bangkit kembali, kali ini dengan senjatanya terarah lurus ke Kuina yang hanya berdiri terpaku di tempatnya. Detik-detik itu terasa seperti selamanya, saat Kuina hanya bisa menyaksikan kematian mendekatinya tanpa daya.
Namun, sebelum jari si penembak sempat menarik pelatuk, tubuh pria itu sejenak menegang. Waktu berhenti. Dalam satu tarikan napas, pria itu terjatuh ke lantai, wajahnya penuh keterkejutan, dan di dahinya tertancap pisau kecil yang dikenal dengan nama Kaiken.
Kuina segera bergerak, memeluk Aeshe yang masih terpaku di tempatnya. Matanya berkaca-kaca, dan tubuhnya gemetar tak terkendali.
“Kau baik-baik saja,” bisik Aeshe sambil mengelus punggung Kuina dengan lembut, berusaha menenangkan. Melihat seseorang mati tepat di depan matanya bukanlah pemandangan yang mudah dilupakan. Terlebih lagi, dengan cara yang begitu brutal.
Zevin tidak membuang waktu. Dia tahu bahwa kegaduhan ini akan segera menarik perhatian pramugari atau bahkan penumpang lain. Dia bergerak dengan ketenangan seorang profesional, mencabut pisau kecil yang tertancap di dahi si penembak dengan hati-hati, memastikan darah tidak mengucur deras.
Setelah itu, Zevin membaringkan tubuh pria itu kembali ke kursinya dan menutupinya dengan selimut tebal yang ada di kursi kelas utama. Beruntung, kursi di kelas utama memiliki partisi yang cukup tinggi, memberikan sedikit privasi, dan menyembunyikan kenyataan bahwa penumpang itu kini tak lagi bernyawa.
Sebelum beranjak pergi, Zevin dengan cermat memeriksa tubuh si penembak. Tangannya dengan lihai memeriksa saku dan jaket pria itu, mencari sesuatu yang mungkin dapat memberinya petunjuk lebih lanjut tentang identitas atau tujuan dari si penyerang. Tak ada yang terlalu mencolok, kecuali tato kecil di pergelangan tangan pria itu, simbol yang dikenali Zevin dengan baik.
Aeshe mengambil perangkat Syntec dari tas kecilnya dan segera menghubungi kontak terdekat yang bisa diandalkan.
"Dokter Galuh, seseorang baru saja mencoba membunuh Kuina di dalam pesawat. Pelakunya sudah mati. Bisakah ada yang mengurusnya saat pesawat ini transit di Doha?"
Suara Dokter Galuh terdengar tenang dan penuh keyakinan dari perangkat Syntec itu.
"Tentu, Aeshe. Pastikan tidak ada kegaduhan dulu di pesawat. Jangan buat suasana panik."
Aeshe mengangguk, meski ia tahu Dokter Galuh tidak bisa melihatnya. "Baik, Dokter. Ada ide siapa yang mungkin menjadi dalang di balik serangan ini?"