Suasana bandara Doha terasa lebih sunyi dari biasanya, meskipun aktivitas tak pernah berhenti. Penumpang hilir mudik, saling berlalu dengan langkah-langkah terburu-buru, sementara suara pengumuman terdengar berulang-ulang dari pengeras suara. Aeshe mencondongkan tubuhnya mendekati Kuina, yang terlihat asyik menatap layar ponselnya, sesekali mengetik cepat membalas pesan dari Lydya.
"Kuina," bisik Aeshe, suaranya lembut namun tegas, "Bagaimana rasanya membunuh seseorang?"
Kuina mengangkat wajahnya, menatap Aeshe dengan pandangan heran. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, namun bukanlah hal yang asing baginya. "Tentu saja biasa saja, Aeshe," jawabnya dengan nada datar. "Membunuh selalu punya alasan yang sama kuat dengan keinginan untuk bertahan hidup. Prinsip yang aku pegang adalah prinsip dunia predator: membunuh hanya untuk bertahan hidup, bukan untuk kesenangan, dan bukan pula karena kebencian."
Aeshe terdiam sejenak, merenungi kata-kata itu. Baginya, Kuina adalah teka-teki yang sulit dipecahkan. Seorang dokter yang memiliki prinsip hidup yang begitu berbeda dari orang kebanyakan. "Dari mana kau belajar semua ini? Termasuk kemampuan bela dirimu yang luar biasa?" tanya Aeshe, matanya penuh penasaran.
Kuina menghela napas, menoleh ke kiri dan kanan memastikan tak ada yang memperhatikan, lalu tersenyum tipis. Tanpa ragu, dia membuka sedikit bagian belakang bajunya yang longgar, memperlihatkan punggungnya yang penuh dengan tato. Tato itu berupa gambar pedang samurai yang dililit kalajengking, sebuah karya seni yang sekaligus mengerikan dan menakjubkan.
Aeshe terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Yakuza..." gumamnya, hampir tak terdengar.
Zevin, yang duduk tidak jauh dari mereka, melirik sekilas tato itu, namun segera memalingkan wajahnya. Dia seolah tahu lebih banyak tentang Kuina daripada yang terlihat. Kuina berdehem pendek, memberi isyarat halus kepada Aeshe dengan kedipan mata. Saat itu Aeshe tahu, ini waktunya untuk mendapatkan informasi dari Zevin.
Dengan lembut, Aeshe membalikkan tubuhnya, menatap Zevin tajam. "Zevin, kau adalah seorang penyintas. Kau tidak terinfeksi bakteri BA meskipun tertular. Apakah ada rahasia yang bisa kau ceritakan padaku? Ini sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia lainnya."
Zevin tampak ragu, matanya enggan bertemu dengan tatapan Aeshe. Dia menunduk, namun pandangannya bergerak cepat ke berbagai arah, memperlihatkan tingkat kewaspadaannya yang tinggi. "Aku tidak tahu secara medis, Dokter," katanya pelan. "Yang kuingat, setelah leopard itu melukaiku, tubuhku terasa seperti terbakar panas dan dingin secara bersamaan. Aku menahannya, seperti dulu saat hampir mati beberapa kali karena Malaria."
Aeshe semakin tertarik, menunggu dengan sabar kelanjutan cerita Zevin. Bagian ini terlalu penting untuk dilewatkan. Zevin melanjutkan, "Semasa kecil, aku tinggal di pinggiran hutan bersama ayahku. Kami berladang di pedalaman hutan Bukit Barisan di Sumatera. Aku terserang Malaria Tropika. Ayahku memberiku ramuan daun dan akar yang luar biasa pahit, sesuai ajaran turun-temurun keluarga kami. Ladang kami jauh dari rumah sakit."
Zevin berhenti sejenak, menatap dua orang calon penumpang baru yang mengambil tempat duduk cukup jauh dari mereka. "Beberapa kali aku kambuh, nyaris mati. Yang paling kuingat, aku kambuh sangat parah ketika di sekolah. Waktu itu aku masih SD."