Zy

Daisy Fuu
Chapter #3

Pertemuan

APA aku tidak salah dengar?

Kurasa lelaki itu hanya bergumam. Tetapi, aku begitu jelas mendengar suaranya. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ia ucapkan. Hanya ada satu kata yang terbersit. Hujan. Ia berkata sesuatu tentang ‘hujan’.

Lelaki itu mencoba bermain diksi dengan hujan. Ah, mungkin saja aku tahu maksudnya. Hanya saja, tadi aku terburu-buru masuk ke dalam bis. Kini, rasanya, tiba-tiba aku kepikiran.

Ya, hujan memang populer dikalangan para pujangga. Hujan selalu menjadi objek karya mereka. Entah untuk mengungkapkan perasaan senang, haru, atau sedih. Namun, kebanyakan dari mereka menggunakan hujan untuk mencerminkan perasaan sedih. Mungkin karena hujan serupa air mata yang jatuh. Jadi, mereka mengasumsikan bahwa hujan adalah pembawa duka.

Walau begitu, hujan tak selamanya tentang kesedihan. Justru, di kondisi tertentu, hujan mampu menghapus air mata seseorang. Tatkala mereka berada dalam pelukan hujan, rintiknya akan menghapus air mata yang terus berjatuhan. Menyatu dengan sang hujan, lalu mengalirkannya ke tempat yang jauh. Itulah kenapa, menangis di bawah air hujan akan memberikan sensasi yang melegakan. Tidak percaya? Lakukan saja. Tapi, bersiaplah keesokan harinya kamu akan mengalami demam.

Saat lampu lalu lintas berwarna merah, bis yang kutumpangi berhenti sesaat. Di luar sana, hujan masih menyerang tak mau kalah. Awal bulan November memang sudah masuk musim penghujan. Lain kali, mau tidak mau, aku mesti bawa payung ke sekolah. Semoga saja tidak lupa.

Aku kembali teringat soal lelaki yang di halte tadi. Sekilas saat kulihat dirinya dari balik bis, dia tersenyum ke arahku. Aku tidak yakin apakah dia benar-benar senyum ke arahku atau perasaanku saja. Yang pasti, saat itu ada perasaan aneh yang datang ke dalam hatiku. Sebuah perasaan yang tidak biasa. Perasaan yang sudah kucoba kubur dalam-dalam dan tidak ingin membangkitkannya lagi.

Kenapa perasaan ini bisa bangkit lagi?

Jangan sampai. Jangan sampai perasaan ini muncul. Aku tidak ingin merasakan kepedihan seperti dulu. Lukaku yang lama bahkan belum pulih sepenuhnya. Padahal itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Aku tak bisa bayangkan akan seperti apa hidupku jika mengalaminya kembali. Kini, aku hanya ingin hidup tenang tanpa perlu merasakan ketertarikan kepada lawan jenis. Sebab, yang dulu pun awalnya seperti perasaan ini. Ya, perasaan seperti ini selalu berakhir menyedihkan. Jadi, aku menolak untuk menerima perasaan ini muncul ke permukaan.

Bagimu, mungkin ini aneh. Tapi, untuk seseorang yang pernah mengalami kecewa berat, sakit hati, hingga menimbulkan trauma. Ini merupakan suatu bentuk untuk melindungi diri sendiri.

Tidak apa-apa untuk bersikap seperti itu, bukan? Semuanya sah-sah saja karena aku mempunyai hak untuk hidup bahagia. Hidup dengan tenang. Tanpa ada orang yang disebut ‘lelaki’ mengusik kehidupanku lagi. Biarkan saja. Biarkan saja orang-orang berkata apapun tentangku. Aku bahkan sudah tidak masalah dipanggil gadis suram. Selama mereka tidak ‘terlalu jauh’ menganggu kehidupanku. Aku akan tetap bersikap seperti biasa saja.

 

*****

Hujan mulai reda bersamaan dengan turunnya aku dari bis tersebut. Saat turun, rintik halus hujan masih tersisa disana. Aku berjalan menyusuri gang menuju rumahku. Saat itu, aku mencium aroma petrichor yang khas. Padahal hujan sudah turun daritadi. Tetapi, aromanya masih menempel di setiap penjuru gang. Ya, jalan gang menuju ke rumahku masih dalam bentuk tanah. Jadi, aku mesti berhati-hati saat melewati tanah becek agar sepatu yang kukenakan tidak terlalu kotor. Walaupun, sudah pasti kotor. Setidaknya aku mencoba untuk mengurangi kotor tersebut.

Berjalan dari gang menuju rumah hanya membutuhkan waktu 3 menit saja. Kini, aku sudah tiba di depan rumah. Kulepas sepatu, lalu kusimpan di rak sepatu yang ada disana. Aku masuk ke dalam rumah, lalu ke kamar, menyimpan tas, mengambil handuk, dan ke kamar mandi.

Jika hujan tidak turun, biasanya aku langsung menjatuhkan diri ke kasur. Tapi, keadaan sekarang berbeda. Bajuku basah dan aku harus segera membersihkan diri alias mandi. Tidak perlu lama-lama. Sekitar 15 menit saja cukup untuk mandi.

Sebelum mulai menghabiskan waktu di kamar, aku harus mengisi tenaga terlebih dahulu. Jadi, aku mulai mengambil nasi dan makan. Ini pun tidak perlu terlalu lama. Sebab, aku adalah tipe orang yang selalu makan dengan fokus dan diam. Tak ada suara.

Mandi sudah. Makan sudah. Oke, tinggal rebahan.

Lihat selengkapnya