Apa yang terjadi di masa lalu, seharusnya tidak dibawa lagi ke masa sekarang. Tetapi, sesuatu yang terjadi pada saat itu selalu membekas dalam pikiran. Seakan tidak ingin pergi dan membiarkan seseorang yang merasakannya selalu terjebak disana. Masa lalu itu, menyimpan kisah pahit yang semakin dilupakan, semakin membekas dan menyakitkan. Mungkin, karena ini bentuk kesalahan yang dirinya lakukan juga. Jika seandainya, dia tidak bertemu dan tidak mencoba dekat dengannya, kenangan pahit seperti ini tidak akan pernah terjadi.
Sudah cukup untuk menyesalinya sekarang, diriku.
Kini, aku sedang berusaha untuk menerima semua hal yang terjadi saat itu. Aku mulai menegak sedikit demi sedikit rasa pahit yang aku rasakan. Tidak bisa aku membiarkan diriku terus hidup di masa lalu, sementara waktu terus berjalan. Masalahnya, bukan hanya aku saja yang menderita. Orang-orang di sekitarku pun mulai bimbang dan putus asa untuk memberi hiburan. Padahal, aku tidak butuh hiburan. Padahal, biarkan saja aku sendiri. Itu sudah cukup.
“Jadi, apa yang bakal lo lakuin kalau udah lulus sekolah nanti?” tanya gadis di sebelahku yang sedang menikmati semangkuk mie ayamnya.
Aku berpikir sejenak. Benar juga. Apa yang akan aku lakukan nanti? Sepertinya, memang aku belum berpikir sampai ke arah sana. Ah, gara-gara beberapa bulan ke belakang aku hidup dalam bayang-bayang masa lalu, aku sampai tidak berpikir apa yang akan aku lakukan di masa depan.
“Entahlah. Aku belum memikirkannya,” balasku sembari mengaduk-aduk mie ayam yang tinggal setengahnya lagi.
“Lo mau gue kasih saran, gak?”
Aku memutar kepala ke samping, ke arah Nila yang tengah mengunyah mie ayam favoritnya. Kami saling bertatapan, lalu Nila mendekatkan kepalanya ke telingaku, “nikah saja.” bisiknya yang membuat aku langsung membeku.
Seolah tidak merasa bersalah, Nila tertawa begitu saja sampai tersedak oleh ludahnya sendiri. Bagaimanapun juga, saran yang dia berikan tidak memberikan manfaat apapun. Terutama bagi aku yang memiliki trauma terhadap lelaki. Membayangkan untuk menikah saja, rasanya sudah membuatku bergidik. Tapi, ini bukan masalah besar, bukan? Setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri, termasuk aku.
“Aku mau lanjut kuliah,”balasku singkat.
“Oh, ya? Nah, bagus, tuh. Mau ambil jurusan apa?”
“Pendidikan Dokter Spesialis,”
“Hah? Gimana, gak ngerti gue,”
“Singkatnya, aku mau jadi psikiater.”
Nila memandangku heran. Mungkin, baginya ini cukup aneh. Sebab, jarang sekali orang yang ingin terjun ke dunia itu. Bisa dibilang, cukup langka juga orang yang memiliki pikiran sepertiku. Tentu saja, aku memilih bidang tersebut karena memiliki alasan tertentu.
“Kenapa psikiater?”lanjut Nila yang masih penasaran dengan pilihanku.
“Aku ingin membantu banyak orang,”gumamku.
Terutama, mereka yang mengalami gangguan jiwa dan mental.
“Pilihan yang bagus. Gue yakin lo bakal jadi seorang psikiater yang bisa membantu banyak orang.”tegas Nila sambil menampakkan senyum di bibirnya.
Yah, sejujurnya, aku tidak tahu apakah bisa masuk kesana atau tidak. Mengingat jurusan itu memang sulit untuk dimasuki, terutama pada masalah biayanya. Semuanya juga pasti tahu, biaya masuk kedokteran itu mahal. Belum lagi masalah biaya lainnya. Sudahlah, tadi aku hanya asal ucap saja. Namun, jauh dilubuk hatiku, aku memang ingin kuliah kesana. Aku serius ingin membantu mereka yang mengalami gangguan jiwa dan mental. Termasuk aku sendiri, aku ingin menyembuhkan trauma yang membuat mentalku terganggu.
“Kamu?”
“Hm?”
“Kamu mau apa setelah lulus nanti?”
“Kerja,”singkatnya sambil meminum habis es jeruk di depannya.
Aku sedikit kaget juga setelah mendengar Nila yang akan langsung bekerja setelah lulus SMA. Sebab, Nila tergolong siswi pintar yang pernah masuk juara umum saat kelas sepuluh kemarin. Bahkan, sekarang pun dia masih rajin belajar. Yah, walaupun tampilannya tidak sesuai dengan title ‘anak pintar’. Seperti yang kau tahu, anak pintar biasanya digambarkan dengan sosok rapi dan berkacamata. Tapi, yang ini berbeda. Ia merupakan siswi berpenampilan berandalan yang selalu bertingkah seenaknya.
“Lo gak mau tahu alasannya?”
Aku memandangnya lagi. Justru, aku ingin tahu sekali. Kenapa siswi sepintar Nila harus langsung bekerja setelah lulus SMA? Aku hanya menyayangkan saja pilihannya, sih. Padahal, dia pasti mendapatkan banyak kesempatan beasiswa.
“Gue butuh uang …” lanjutnya. Kini, nada bicaranya tidak setinggi sebelumnya. Ia menatap mangkuk mie ayam yang sudah kosong.
Aku tahu. Semua orang yang memutuskan untuk bekerja sudah pasti membutuhkan uang. Kalau tidak butuh, lebih baik diam di rumah saja. Rebahan seharian, nonton tv, tidur, makan begitu saja seterusnya. Tapi, disini ceritanya lain lagi. Ah, mungkin Nila tidak tahu bahwa sekarang, kuliah sambil kerja pun sudah bisa dilakukan.
“Nila …”
“Gue tahu yang bakal lo katakan, Na. Gue juga tahu resiko dari pilihan gue. Tapi, mau gak mau, gue, yah, harus langsung kerja.” potongnya sambil tersenyum getir.