ASAL tahu saja. Mata adalah salah satu panca indera yang tidak bisa berbohong. Saat mata sedang menyembunyikan sesuatu, ia tidak ingin dipandang oleh mata lainnya. Dia akan menunduk atau menatap ke arah lain. Mata selalu begitu. Setajam apapun tatapannya, kalau sedang berbohong, ia pasti mengelak. Itulah kenapa, aku paling suka mata. Mata selalu menampakkan kejujurannya, walaupun pemiliknya ingin menutupi.
Sebenarnya, ada anggota tubuh lain yang selalu berkata jujur. Ya, benar. Hati. Hati juga selalu berkata jujur, tepatnya lubuk hati paling dalam yang selalu melakukannya. Tetapi, kita tidak bisa melihat kejujuran hati. Terkadang, mulut dan hati selalu bertolak belakang. Hati mengatakan A, si mulut malah berkata B. Begitulah, mereka sulit untuk berdamai. Kecuali, kalau sudah waktunya. Dan ini tidak bisa diperkirakan dengan mudah.
“Yo!”
Nila baru saja keluar dari kelasnya. Ia menghampiriku yang sedang menunggunya di dekat pintu, lalu ikut menyenderkan punggungnya di sampingku.
“Sudah lama menunggu?”
“Baru saja,”
“Oh, kirain udah lama. Sialan tadi, gegara mata pelajaran si ibu anti pacaran itu. Jadi, kita keluar kelasnya yang paling lama. Hah, nasib nasib …” gerutu Nila sambil mengeluarkan payung yang selalu ia bawa di ranselnya.
Julukan ‘Ibu Anti Pacaran’ itu diberikan kepada guru PKN kami. Namanya bu Rosita. Panggilannya bu Ochi. Alasan bu Ochi memiliki panggilan itu karena setiap kali akan memulai pelajaran, ia selalu memberikan nasihat tentang pacaran terlebih dahulu. Menyatakan bahwa pacaran itu tidak boleh. Menyarankan bahwa kami harus fokus dulu kepada masa depan masing-masing. Lalu, membuat siapa saja yang memiliki pacar harus PUTUS saat itu juga. Dan putusnya pun harus di hadapan bu Ochi. Parah juga, sih. Tapi, ya begitulah guru kami. Berbeda dari yang lain.
Banyak anak kelasku dan anak kelas lain yang sudah putus dengan pacarnya gara-gara bu Ochi. Tapi, percayalah itu cuma akting saja. Selepas putus di hadapan bu Ochi, lalu bu Ochi memberi ceramah AIUEO dan pergi, mereka kembali jadian lagi. Nah, ini lebih parah, sih.
Meskipun bu Ochi punya kepribadian unik, tetapi aku senang belajar dengan ibu ini. Tentu saja, karena pelajarannya yang mudah dimengerti. Lagian, bu Ochi orangnya baik, kok. Dia hanya tegas, bukan galak. Tegas terhadap anak-anak yang nakal. Dan lebih pas kalau merangkap jadi guru BK juga. Dijamin, kalau bu Ochi merangkap jadi guru BK, seluruh anak nakal di sekolah ini pasti kena ceramahnya.
“Hujannya makin deras aja, ya.” gumam Nila sambil menatap bulir bulir hujan yang seakan menyatu dengan bulir hujan lainnya.
“Kamu mau pulang sekarang?”
“Ehm, tunggu sebentar lagi, deh. 15 menit. Hujannya gede banget, nih.”
Benar. Hujan semakin deras turunnya. Hampir 90% anak-anak lain pun masih menunggu hujan reda. Ya, walaupun ada diantaranya yang nekat. Hujan-hujanan seperti anak kecil. Dan rata-rata para murid lelaki yang melakukannya. Ya, mereka memang senang melakukan hal seperti itu. Padahal, itu bisa membuat tubuhnya menjadi lengket, dingin, masuk angin, dan demam. Tapi, namanya juga murid lelaki. Lagian, mereka yang berani terjun langsung ke arah hujan, kurasa adalah mereka yang memiliki stamina tubuh baik.
Selama beberapa menit, aku merasa Nila terus diam saja. Berbeda dengan biasanya yang selalu bawel mengatakan hal apapun. Aku melirik ke arahnya. Nila sedang menatap air hujan yang turun terus menerus. Tatapannya begitu sendu. Ia juga terlihat seperti sedang melamunkan sesuatu, ah atau sedang berpikir sesuatu?
Tatapan macam apa itu, Nila?
“Nil?”
“…”
“Nila?”
Masih belum ada jawaban. Aku menghembuskan napas panjang, lalu memanggil namanya sekali lagi.
“Nilajada,”
“Eh, ah, I-iya, Nao, lo manggil gue?” jawabnya gelagapan.
Ternyata, benar. Nila sedang melamun. Tapi, apa yang sedang gadis ini pikirkan? Ah, apakah dia kepikiran lagi soal keputusannya setelah lulus sekolah. Padahal, menurutku kalau semisal, dia memang harus langsunkerja karena keadaan, itu tidak masalah. Di jaman modern seperti sekarang, belajar itu bisa dilakukan dimana saja. Di Youtube, atau pun Podcast, banyak sekali orang yang membagikan konten edukasi. Jadi, tidak masalah langsung kerja juga. Ya, karena hidup adalah pilihan. Kita bebas untuk memilih dan menentukan masa depan sendiri. Tidak selamanya, setelah lulus SMA harus kuliah, kan?
“Nila, kamu masih kepikiran yang tadi, ya?”
“Kepikiran apa?”
“Soal … Kamu harus langsung kerja setelah lulus SMA,”
“Hahaha, enggaklah. Gue enggak mikirin itu. Gue enggak masalah langsung kerja. Lagian, enggak ada patokan usia untuk belajar. Gue mau kuliah dua atau tiga tahun lagi, masih bisa, kok.”
Yah, aku setuju dengan Nila. Tidak ada batasan usia untuk terus menimba ilmu. Semua orang bisa mendapatkannya.
“Lalu, kamu kenapa?” tanyaku lagi mencoba menangkap tatapan matanya yang masih sendu.
“A-apaan? Gue gak papa. Suwer, gue gapapa, Nao.” tegasnya, namun masih menghindari tatapan Nao.
Sudah kuduga. Pasti ada apa-apanya. Biasanya, kalau kutatap seperti ini, Nila akan langsung menatap balik. Tapi, sekarang tidak. Nila malah melemparkan pandangannya ke arah lain. Haish, apakah tatapanku menyeramkan?
“Nila, aku tidak tahu apa masalahmu. Tetapi, hari ini aku melihatmu tidak seperti Nila yang biasanya. Kamu menghindari tatapanku saja itu sudah aneh. Dan lagi, kamu terus diam,”
Nila tidak menjawab perkataanku. Kulihat dirinya hanya diam menunduk. Matanya menatap lantai kelas yang mulai kotor akibat kombinasi air hujan dan jejak sepatu anak-anak yang berlalu lalang.
“Tadi, cuma ada sedikit masalah di kelas.”
“Kalau cuma sedikit, aku yakin kamu tidak akan sampai kepikiran terus seperti ini,” balasku datar.
Kulihat Nila menatapku sekilas. Lalu, kembali menunduk dan menatap lantai.
“Tadi … gue bertengkar. Ada anak kelas yang menghina lo. Jadi, gue emosi, dan begitu …” ucapnya pelan.
Kali ini, aku yang diam. Entahlah, aku bingung harus memberi respon apa. Cuma gara-gara itu, Nila jadi bertengkar dengan teman sekelasnya.
“Padahal, abaikan saja,”
“Mana bisa diabaikan, Nao! Jelas-jelas dia menghina lo. Sebagai teman, ya gue gak terima.”
Teman, ya …
“Makasih, Nila.”
“Buat apa?”
“Karena sudah membelaku,”
“Hah, dia emang sialan, sih.”
Hening.
Apakah aku harus senang? Ini adalah kali pertama aku mendapatkan pembelaan dari seorang, yah bisa disebut teman. Sebelum mengenal Nila, aku tidak peduli ada orang yang memanggilku ‘suram’ atau apalah. Aku selalu mengabaikannya saja. Setelah Nila dekat denganku dan kita menjadi teman, rasanya aku merasa banyak memiliki perlindungan. Padahal, hanya satu teman. Tidak banyak. Bahkan, sedikit sekali.
Lalu, apa yang harus aku lakukan kepada Nila? Rasanya, tidak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya jadi benalu bagi dirinya. Aku jadi beban. Aku juga yang membuat dirinya menjadi bertengkar dengan teman sekelasnya yang tidak aku kenal. Ah, entahlah. Apa yang harus aku lakukan?
“Nila, aku memang berterima kasih karena kamu sudah membelaku. Tapi, kamu gak harus sampai bertengkar dengan teman sekelasmu itu. Soalnya, mereka gak tahu sepenuhnya cerita hidup seseorang. Jadi, gak salah juga kalau mereka menyebutku begitu.”
“Sebenarnya, bukan gara-gara itu saja. Ah, pokoknya dia sudah kelewatan. Kalau lo jadi gue, lo juga pasti pengen menghajarnya, yakin gue.”
“Aku sih … “
“Eh, hujannya mulai reda. Gue balik duluan ya, Nao. Bayy.”
Nila memotong ucapanku dan pergi begitu saja. Hm, Sudahlah. Tidak semua hal memang harus dikatakan pada hari itu, kan? Mungkin, begitulah yang Nila rasakan. Pasti Nila memiliki cerita lain yang tidak ingin dia ucapkan. Baiklah, aku mengerti. Sekarang, karena hujan sudah mulai reda. Aku harus pulang juga. Aku tidak membawa payung. Jadi, aku harus berlari-lari kecil saat mulai menuju gerbang. Setelah menemukan angkot yang akan membawaku ke halte, barulah aku segera masuk ke dalamnya. Kuharap, semoga hujan bisa reda setiba aku di halte.
*****