AKU pernah mendengar bahwa ingatan tentang hujan akan selalu melekat kuat. Hujan akan menciptakan kenangan yang sulit untuk dihapuskan. Semakin banyak air hujan yang turun, maka kenangan yang kamu miliki saat hujan, akan semakin besar untuk diingat. Itulah kenapa, banyak orang yang selalu teringat kenangan masa lalunya, saat hujan tiba.
Kali ini, aku bersyukur. Hujan di awal November ini telah memberikanku satu kenangan manis yang pasti akan selalu aku ingat. Perasaan yang semula muncul membuatku takut, kini terasa hangat berkat senyuman lelaki bernama Zy tersebut. Kalau diibaratkan, lelaki itu memiliki senyuman indah seperti musim semi. Ya, walaupun aku belum pernah merasakan seperti apa musim semi, tetapi dari melihatnya saja, aku merasakan keindahan dan kedamaian disana. Entahlah, aku seperti dia bukan orang asing. Padahal, baru pertama kali aku mengobrol, lho. BARU PERTAMA KALI!
Aku melemparkan badan ke atas kasur dengan seprai motif awan berwarna biru tersebut. Mataku menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Kejadian di halte tadi seakan tidak nyata bagiku. Sudah berapa kali aku menepuk kedua pipiku saat mandi, tapi rasanya sama saja. Sakit. Ya, ini sudah pasti bukan mimpi. Terkadang, kehidupan itu memang tidak terduga. Bertemu dengan seseorang yang tidak pernah diduga sebelumnya. Dan lebih tak terduganya lagi, dia datang saat aku ingin menghapus bayang-bayang masa lalu.
Tok … tok … tok …
“Naomi, ibu menemukan jaket di kamar mandi, ini punya kamu, bukan?” suara Ibu di balik pintu kamar refleks membuatku bangkit dari tempat tidur.
“I-iya, bu. Itu punyaku.” Teriakku dan segera keluar dari kamar.
Kulihat, ibu sedang berdiri di depan pintu kamar sambil membawa jaket milik Zy. Astaga! Kenapa aku bisa ceroboh begini, sih. Pasti ibu akan bertanya macam-macam. Aduh, gawat banget. Alasan apa yang harus aku katakan pada ibu. Masalahnya, ibu tahu semua baju-baju yang aku miliki. Walaupun aku memiliki baju baru, pasti itu karena ibu yang membelikan. Aku belum pernah sama sekali membeli baju sendiri. Ya, belum pernah. Jadi, wajar saja kalau ibu kini berada di depan pintu kamarku sambil menatap dengan penuh curiga.
“Ma-maksudku, ini punya Nila, bu. Tadi aku kehujanan, jadi aku pinjem dulu jaketnya,” Aku mencoba untuk mengelak terlebih dahulu sebelum ibu bertanya. Bahkan, aku sudah merebut jaket itu dari tangan ibuku.
“Nila ... teman satu sekolahmu?”
“I-iya, bu.”
Situasi ini sungguh awkward bagiku. Aku cuma bisa nyengir dan menggaruk pundak yang tidak gatal. Berharap ibu tidak bertanya apa-apa lagi dan langsung pergi saja. Jujur saja, aku paling tidak suka kalau ditanya seperti ini.
“Yasudah, kalau sudah dipakai, jangan lupa langsung dicuci sebelum nanti dikasihin lagi, ya.”
“Siap, bu.” jawabku cepat sambil tersenyum.