Zy

Daisy Fuu
Chapter #8

Hujan

BEL pulang akan berbunyi sebentar lagi. Hari ini tidak seperti biasanya. Ternyata, hujan tidak turun. Bahkan, terlihat begitu cerah dan panas. Aku melihat ke langit pun hanya ada sedikit awan yang lewat. Aku lumayan senang, sih. Sebab, aku tidak perlu kehujanan lagi dan bisa melihat Zy saat cuaca sedang cerah begini. Ah, rasanya tidak sabar ingin segera pulang dan bertemu lelaki itu.

Akhirnya, suara bel pulang yang kutunggu pun berbunyi. Segera kuberesi barang-barangku dan memasukkannya ke dalam ransel. Sebelum menuju gerbang depan, aku menyempatkan diri ke toilet dulu. Ya, apalagi kalau bukan buat cuci muka dan melihat keadaan mukaku saat ini. Benar saja, wajahku sudah mulai kusam. Untungnya, aku tidak lupa menyelipkan bedak yang kugunakan tadi pagi. Beruntungnya juga, hari ini tidak ada razia, jadi bedakku aman sampai bel pulang.

Setelah membubuhkan bedak tipis-tipis, aku segera keluar dari toilet tersebut. Oke, sekarang wajahku sudah terasa lebih fresh. Duh, deg-degan rasanya. 

“Nao …”

Ah, itu suara Nila. Aku melihat ke arahnya dan menyampaikan pesan isyarat bahwa aku mau pulang duluan. Nila langsung mengerti dan membalas dengan isyarat melambaikan tangan. Sip. Makasih, Nila. Kamu memang pengertian.

Baru saja aku membalikkan badan, tubuhku malah bertabrakan dengan tubuh siswa lain.

“Aduh,” ringisku perlahan.

Lelaki yang kutabrak barusan cuma diam. Aku melihat ke arahnya perlahan. Tuhan, ini kesalahan fatal yang pernah kulakukan. Lelaki itu sedang menatapku dengan tajam. Dia seolah tidak ingin membiarkan aku pergi begitu saja. Ah, aku mulai ingat. Dia adalah kakak kelas sangar yang selalu diceritakan oleh teman sekelasku. Namanya Ry. Ya, teman-temanku selalu menyebutnya dengan sebutan Kak Ry. Biasanya, aku selalu melihat dia dari kejauhan dan tidak merasa dia berbahaya. Tapi, kali ini aku benar-benar melihatnya dari jarak dekat. Bahkan, seragamnya yang bau rokok pun tercium olehku. Selain itu, penampilannya pun sama sekali tidak rapi. Seragam yang ia kenakan dibiarkan keluar dan tidak dikancingkan, sehingga terlihat t-shirt hitam yang ia gunakan. Rambutnya pun, ah, bisa dibilang acak-acakan.

Baiklah, hanya ini satu-satunya cara yang bisa aku lakukan.

“Ma-maafkan aku!” spontan aku berlari setelah mengucapkan permintaan maaf itu. Aku tidak berani menengok ke belakang. Kuharap dia tidak mengejarku. Bagaimanapun juga, aku paling takut dan tidak mau berurusan dengan orang seperti dia.

*****

Setibanya di pintu gerbang, aku melirik ke belakang. Syukurlah, dia tidak mengikutiku. T-tapi, ah tubuhku jadi penuh keringat dan lengket. Sepertinya, riasanku juga hilang lagi. Harusnya tadi aku tidak berlari saja. Tapi, kalau tidak berlari, kakak kelas tadi pasti tidak akan memberikan ampun bagiku. Sudahlah, semuanya sudah terlanjur. Pada akhirnya, aku tetap memperlihatkan diriku yang suram kepada Zy. Eh, setidaknya aku sudah menjempit poniku sekarang. Jadi, mungkin masih ada harapan aku tampil ‘sedikit cerah’, kalau kata Nila mah.

Di depan gerbang, sudah ada angkot yang akan membawaku pergi ke halte. Aku langsung naik saja, meskipun sudah berdesak-desakan di dalamnya. Memang seperti itulah angkot. Dia tidak akan maju kalau belum penuh penumpangnya. Bahkan, ketika penumpangnya sudah penuh pun, masih saja disebut ‘belum penuh’. Aneh memang.

Rasanya, tidak sabar untuk segera datang ke halte.

Lihat selengkapnya