PADA akhirnya, aku mengurungkan niat untuk pulang saat itu. Kubiarkan bis yang seharusnya kutumpangi pergi begitu saja. Padahal aku tidak tahu, apakah nanti bakalan ada bis yang lewat lagi atau tidak. Mengingat hujan kini sudah turun dengan amat sangat deras. Ya, sebelum jam enam sore, seharusnya masih ada bis Damri jurusan Leuwi Panjang - Dago yang akan lewat ke halte ini. Jadi, aku ‘sedikit’ tidak khawatir.
Justru, aku malah khawatir pada Zy. Bisa-bisanya dia pakai payung, tapi badannya basah kuyup begitu. Hah, dasar, Zy.
“Hei, bukannya kamu pakai payung?” tegurku sambil mengikuti arah Zy yang hendak duduk di kursi halte.
Zy hanya mengangkat bahu dan mengulum senyum. Seakan berkata, “Ya, seperti yang kau lihat.”
“Tapi, kenapa jadi basah kuyup begitu? Kamu tidak takut demam? Kalau begini, bisa-bisa besok kamu tidak datang ke sekolah,”
Zy membalas dengan tawa khasnya. Padahal, aku yakin tidak ada yang lucu disini. Zy mengangkat tangannya, lalu menepuk-nepuk pucuk kepalaku. Hei, tiba-tiba aku jadi udang rebus lagi. Kulirik wajah Zy yang tepat di depanku. Dia tersenyum dengan sangat … menawan.
"Mari kita duduk dulu,” ajaknya yang mana ia langsung duduk di kursi halte, lalu menepuk tempat duduk disampingnya. Menandakan bahwa sekarang ia memang menyuruhku untuk duduk.
Tanpa pikir panjang, lantas aku duduk di sampingnya. Kini, jarak duduk kami tidak berjauhan lagi. Maksudnya, tidak dari ujung ke ujung lagi. Kami duduk bersampingan yang dipisah dengan jarak sekitar 10 cm saja. Saat itu, aku hanya diam memperhatikan Zy yang sedang mengusap rambut basahnya, lalu melepas kacamata yang ia kenakan karena ikut basah.
“Apa saya memang sangat tampan, ya?” celetuknya sambil nyengir.
“Hah?” aku mengerjap kaget mendengar ucapannya.
“Anda daritadi ngeliatin saya terus. Sampe nggak berkedip, lho.”
“Si-siapa yang ngeliatan kamu,” bentakku dengan malu.
Beneran. Aku malu banget. Kok, bisa-bisanya aku lepas kendali. Kalau ada lubang semut disini, aku ingin berubah jadi kecil dan masuk ke dalam lubang semut itu. Saking malunya, wajahku sekarang selalu mudah menjadi merah.
Zy kembali tertawa melihat aku yang salting. Dan ia benar-benar ingin membuat aku salting 100%!
“Anda,”panggilnya.
“Apa?” aku tidak melihat ke arahnya. Mataku masih memandang ke samping jalanan sebelah kanan. Sementara, Zy kini ada di samping kiriku.
“Anda punya tisu?”
Jadi, dia memanggilku buat meminta tisu. Aku ada sih, tisu. Soalnya aku selalu membawanya setiap hari. Bukan untuk apa-apa. Aku memang selalu membawanya saja.
“Ada,”
“Minta dong,”
Tuh, kan, benar. Dia ingin meminta tisu. Aku langsung saja mengambilnya dari ransel yang kini berada di pangkuanku. Saat aku menoleh ke arah Zy untuk memberikan tisu tersebut, aku kembali kaget. Bahkan, kali ini, bola mataku seakan mau keluar.
Zy sedang menatapku dengan jarak yang sangat dekat. Mata kami saling bertemu. Mungkin, sekitar 5 cm jaraknya. Dekat sekali, bukan? Dia juga tidak memakai kacamatanya. Dari pandangan ini, aku jadi tahu, Zy memiliki tahi lalat tepat di bawah mata kanannya. Dan ia, memiliki bulu mata yang lentik, hidung sedikit mancung, dan bibir yang …
ASTAGA, PIKIRAN KOTOR APA INI!
Buru-buru aku memberikan tisu ke tangan Zy. Mataku mengerjap-ngerjap atas apa yang terjadi beberapa detik lalu. Tuhan memang telah berbaik hati menciptakan Zy dengan bentuk wajah yang bagus. Aku sempat terpukau tadi. Ta-tapi, ini tidak masuk akal. Kenapa harus seperti tadi? Jarak kami terlalu dekat dan pikiran burukku, sungguh aku ingin membuangnya jauh ke pluto.
Aku masih debat dengan pikiran yang ada di otakku. Sementara Zy, seakan tidak terjadi apa-apa, ia masih terlihat santai sambil membersihkan air yang ada di kacamatanya menggunakan tisu. Setelah beres, ia kembali menggunakan kacamata, lalu melirik ke arahku dan menampakkan pesona senyuman mematikannya.
“Sepertinya, Anda terlihat berbeda hari ini.” ungkapnya sambil mengulum senyum.
“Tidak. Aku masih seperti biasanya,”
“Poni,”
“Hm?”
“Poni Anda hilang.”
Oh, jadi itu maksudnya. Aku menjelaskan bahwa hari ini aku sedang tidak ingin memakai poni. Tapi, aku tidak menjelaskan bagian ‘Ingin terlihat lebih cerah di hadapan Zy’. Menurutku itu memalukan. Sekarang pun aku sudah berapa kali terlihat salah tingkah dengan wajah yang tak berhenti mengeluarkan warna merah. Padahal, manusia bernama Zy itu tetap bersikap santai. Atau mungkin dia sebenarnya tidak ingin membuatku tambah malu atau memang dia tidak peduli?
“Begitu. Pantas saja, meskipun sekarang langit sedang menangis, tetapi saya masih merasakan ada mentari disini,”
Hei, apa maksudnya?
Jujur. Aku tersinggung dengan ledekan santainya itu. Zy menampakkan seringainya seakan menunggu balasanku atas ucapannya.
“Iya, jidat saya lebar, tapi tidak mengeluarkan panas seperti mentari,” ketusku sambil memutar bola mata.
“Masa? Sebentar, saya cek.”
Sedetik setelah berbicara seperti itu, Zy mendekatkan jidatnya ke jidatku. Oke. Dia memang ingin membuat mata dan jantungku loncat. Sekarang, bahkan napasku menjadi tertahan. Saat Zy menjauhkan kembali jidatnya, maka saat itulah aku bisa menarik napas panjang.
“Syukurlah, tidak panas.” ucapnya dengan enteng.
Aku heran. Kenapa hari ini dia membuatku nge-blush terus. Masa dia ingin membuatku beneran berubah jadi udang rebus. Jangan-jangan, Zy memang penggemar udang rebus.
“Zy,” panggilku begitu saja.