Zy

Daisy Fuu
Chapter #10

Melifluous (2)

“Hujan-hujanan lagi?”

Aku nyengir dan langsung duduk di samping Zy yang sudah tiba lebih dulu di halte ini. Sudah hampir seminggu kami bertemu, Zy selalu duduk di tempat yang sama. Dia juga menyimpan payungnya dalam posisi sama. Warna payungnya juga tetap sama. Biru, tidak pernah berubah. 

Sejak pertama kali kami mengobrol lama, Zy tidak pernah datang terlambat lagi. Ia selalu tiba lebih dulu daripada aku. Entahlah, setiap kali ku bertanya kenapa dia bisa pulang lebih cepat, jawabannya selalu “Anda tidak perlu tahu”. Baiklah, sejak saat itu, aku tidak pernah bertanya lagi. Kuharap Zy tidak bolos dari sekolahnya dengan alasan ingin bertemu aku saja. Kalau seperti itu, aku sudah menyesatkan anak orang dan sungguh itu perbuatan yang tercela. 

“Oh, iya. Ini jaketmu.” ucapku sembari memberikan paper bag biru ukuran besar yang di dalamnya terdapat jaket abu-abu milik Zy dahulu. Jaket itu sudah aku bungkus dengan plastik. Jadi, saat aku kehujanan, jaketnya masih aman dan tetap dalam keadaan kering. 

“Anda dari tadi bawa ini?” tanya Zy setelah menerima paper bag dariku.

Aku membalasnya dengan mengangguk sekali karena sedang sibuk mengusap-usap baju, rok serta rambutku yang basah terkena air hujan. 

Zy berdecak pelan melihat diriku yang basah, lalu mengeluarkan sapu tangan abu di dalam ranselnya. 

“Usap pakai ini,”

Aku melihat ke arahnya. Haruskah aku terima? Padahal baru saja aku mengembalikan jaketnya. Kini, dia sudah menawariku sapu tangan. Ya ampun, Zy. Kalau kamu tahu, aku sebenarnya tidak suka meminjam barang milik orang lain.

“Gak usah. Aku nggak terlalu basah, kok.”

“Ambil aja. Saya punya banyak saputangan di rumah.” Zy meletakan saputangannya di tanganku. “Atau mau saya lap-in?” Gurau Zy sambil tersenyum tengil.

Aku buru-buru mengambil saputangannya dan menjauh sedikit dari Zy. Ia hanya tertawa melihatku. Dasar, Zy. Selalu saja seperti itu.

“Eh, Anda kan daritadi bawa jaket saya. Kenapa enggak di pakai aja?”

“Nggak, itu kan punya kamu.”

“ Ya gapapa. Kan lagi darurat. Pakai aja padahal mah, daripada kehujanan gitu,”

“Nggak papa, air hujan gak mematikan, kok.”

“Haha, kamu suka hujan sepertinya, ya?”

Aku menatap ke arah Zy dan tersenyum “Aku suka hujan. Ditambah lagi, hujan yang mempertemukan aku denganmu, Zy. Jadi, rasa sukaku kepada hujan semakin bertambah.

Zy memiringkan kepalanya, “Anda lagi mikirin apa?”

“A-aku, gapapa. Aku lagi nggak mikirin apa-apa,”

Kali ini, giliran Zy yang tersenyum. Matanya memandang jauh ke atas langit, tempat air hujan itu berjatuhan. 

“Saya juga suka hujan,” gumam Zy pelan.

“Kamu suka hujan?” 

Yah, aku bertanya lagi karena suara Zy tadi begitu pelan dan hampir tidak terdengar. Ditambah lagi, hujan kini sudah mulai turun cukup deras. Zy membalasnya dengan anggukan. Ia masih menikmati air hujan yang turun semakin deras. Matanya kini tertutup, seakan menikmati nyanyian hujan yang begitu menenangkan. Sesekali suara kendaraan muncul, namun tidak menganggu ketenangan yang sedang dia rasakan. Lagi-lagi aku hanya menatapnya. Menatap Zy yang sedang menengadah dan menutup matanya. Ah, bisa-bisanya dia begitu indah di pandanganku. Tak hanya suaranya, wajahnya terukir indah seperti karya seni yang luar biasa. Siapapun yang dapat memiliki Zy, pasti dia adalah wanita beruntung pilihan Tuhan. Aku yakin itu. 

“Kenapa kamu suka hujan, Zy?” tanyaku tiba-tiba, setelah beberapa lama kami hanya terdiam menikmati pikiran masing-masing.

Zy membuka matanya, menatap ke arahku dan memandangku dengan tenang, “Karena hujan bisa membisukan semua kebisingan yang ada di kepala saya.”

“Kalau Anda? Alasan suka hujan, kenapa?” tambahnya. 

“Aku suka hujan karena bisa melepaskan semua bebanku saat itu. Hujan selalu memelukku saat aku sedih. Kemudian mengalirkan semua kesedihan yang aku alami, hingga membuatku tenang kembali.”

“Benar. Walaupun air hujan dingin, tapi rasanya seperti hangat dan menenangkan,”

Aku mengangguk setuju. Ternyata Zy memiliki pikiran sama denganku. Baru kali ini aku bertemu dengan orang sepertinya dan merasa cocok sebagai teman mengobrol di halte. Padahal, sebelumnya untuk berbicara kepada lelaki saja, aku selalu gugup. Tapi, bersama Zy, aku merasa sudah mengenalnya lama. 

“Tapi, temanku ada yang nggak suka hujan, lho,”

Lihat selengkapnya