Blurb
Pedesaan di sekitar pesisir Lae, Papua dihebohkan oleh kawanan ropen, sejenis pterodactyl yang muncul membunuh banyak lelaki, wanita, orangtua dan anak-anak yang tengah bermain lewat sore hari. Selebaran setan yang terbang mengeluarkan cahaya ungu pada matanya di malam hari dan berekor panjang mirip panah itu terus berdatangan memakan nyawa penduduk. Pertarungan pun tak terhindarkan, awak prajurit andalan yang tangguh diluncurkan ke hutan, ladang-ladang dan sungai, pancingan dan jebakan dibuat untuk mengundang makhluk langka mengerikan itu kepada kematiannya.
Premis
Dalam kepanikan warga Lae, seorang remaja yang prihatin akan kematian yang mengintai warga, membangunkan kesadaran kolektif untuk menggempur kekuatan selebaran setan yang terus berkembang biak di dalam hutan. Namun ia masih harus turun ke hutan, membantu warga dengan membuat siasat baru yang sangat beresiko tinggi.
Karakter
Rakyat pedesaan di pesisir Lae dihebohkan dengan kemunculan kawanan ropen, binatang sejenis pterodactyl yang membunuh banyak anak-anak, wanita, remaja, laki-laki kuat bahkan orangtua yang keluar rumah lewat sore hari. Selebaran setan berekor panah itu terbang mengeluarkan cahaya pada matanya di malam hari, dan menyasar mata korban dengan ekornya yang runcing. Binatang-binatang yang awalnya dianggap mitos itu, mengintai di pohon-pohon besar, dan turun dengan kecepatan kilat menyambar korban. Dengan dipimpin oleh Julvri, seorang lelaki perkasa yang penuh ambisi, banyak lelaki kuat yang memberanikan diri masuk ke hutan untuk memburu binatang-binatang itu, hanya saja jumlah pasukan dan kesediaan senjata mereka masih kurang. Binatang-binatang cryptid itu melawan, melukai dan tak jarang memakan nyawa pemburu.
Para lelaki kuat itu mengingatkan warga untuk menghindari keluar pada hari gelap, namun masih banyak yang melakukan kegiatan yang mengantarkan mereka pada kecelakaan. Akhirnya, warga saling menyalahkan dan berselisih, sehingga banyak urusan terbengkalai yang semakin memicu ketidakrukunan masyarakat.
Drio dan Desmawarni pacarnya adalah sepasang anak remaja yang prihatin dengan situasi itu meminta petunjuk dari orang alim. Menurut Ardhaffa, orang alim tersebut, binatang itu tengah mencoba mempertahankan diri, karena kondisi alam saat ini mengancam kepunahan mereka. "Itu sebab dari tangan-tangan kita sendiri!" katanya. "Binatang itu memiliki kekuatan dan mereka mencoba mengimbangi kekuatan yang membuat ketimpangan alam!"
Kedua anak remaja itu memperingatkan warga agar berwaspada, bahwa ini merupakan pertanda alam yang harus mereka terima dengan bijaksana mengingat rawan bencana alam seperti gempa alam dan ombak besar yang menghantam daerah-daerah pesisiran akhir-akhir ini. Ia menyarankan, agar masyarakat menyediakan pakan untuk binatang-binatang itu agar mereka tunduk pada manusia.
Namun, Prazna, seorang lelaki yang lebih tua menyarankannya agar dia ikut masuk saja ke hutan membunuh binatang-binatang itu. Sebab menurutnya, binatang itu masih akan terus berdatangan, dan mengikis jumlah warga.
Perburuan monster terus berlanjut. Binatang yang telah berhasil mengembang biakkan hidup mereka kini menjadi musuh yang lebih pintar dalam menjaga habitat mereka. Anak-anak mereka tumbuh dengan cepat dan lapar. Orang-orang kuat warga Lae semakin menipis. Rakyat yang sejak awal sudah sulit untuk diajak maguk ke hutan, semakin enggan diam di kampung yang terancam. Banyak remaja yang pergi mencari kerja ke kota lain. Warga mulai berputus asa, hingga akhirnya remaja itu pergi untuk membangunkan ketua adat yang sakit.
Devaryo, sang Kepala Adat akhirnya memanggil anak-anak suku dari daerah-daerah pesisir pantai lainnya. Ia memerintahkan anak-anak kesukuannya untuk berkumpul di rumahnya, menyuarakan keprihatinan tentang ketidakharmonisan yang terus mengganggu keserasian dan keamanan etnis. Menurutnya, peperangan melawan ropen itu harus dimulai dari diri mengembalikan kesadaran kolektif akan perdamaian di antara anak-anak suku mereka yang mengalami perang saudara. Mereka harus bertindak dengan hati-hati menyikapi fenomena alam yang akan merenggut kehidupan mereka.
"Ropen itu datang pada kesempatan hanya selagi jiwa kita kosong dipecah belah oleh selisih! Mereka mengintai orang-orang yang lemah, yang pikirannya tidak berjaga-jaga. Selama kita masih belum menemukan teknologi yang aman bagi lingkungan, apapun bisa terjadi! Maka, pentingkanlah hari ini. Jika perang antar saudara dibiarkan terus berlanjut, maka kita akan hancur pada satu hari, maka musnahlah kita semua. Adat yang musnah, keyakinan yang musnah. Lalu, apa yang bisa kita sampaikan pada keturunan kita? Apa yang bisa kita pertanggung jawabkan pada leluhur kita?" kata Kepala Adat.
Seruan anak-anak suku berombak menjawab, membenarkan. Tangan-tangan mereka terangkat.
"Mari kita bangkitkanlah semangat kebersamaan! Jika masing-masing dari kalian ingin memerangi selebaran setan itu, bersatulah dalam mengambil kekuatan mereka, maka Lae akan tetap berada di tangan manusianya saat ini," kata Ketua Adat lagi dengan bijak.
Ombak suara itu diperdengarkan kembali menyerukan semangat.
Tak lama sejak itu, penyerbuan dilakukan. Beberapa awak prajurit andalan yang tangguh diluncurkan ke hutan, ladang-ladang dan sungai. Lecutan senjata anak panah dilepaskan di beberapa tempat yang teridentifikasi sebagai sarang-sarang ropen. Pancingan dan jebakan dibuat yang mengundang makhluk langka mengerikan itu kepada kematiannya.