Bunga dan Pena

Oleh: Himawan

Blurb

Muhtar, Seorang Santri cerdas yang memiliki ketertarikan besar terhadap keilmuan. Di Pesantrennya ia dianggap menjadi salah seorang rujukan keilmuan bagi teman-temannya. Hari-harinya berlangsung sebagaimana mestinya, diisi dengan belajar, hafalan, diskusi, dan beberapa hal konyol. Tak jarang juga mereka mulai berbicara sesuatu yang serius.
Sebagaimana pemuda pada umumnya, Muhtar diam-diam menaruh hati kepada seorang wanita, Naila. Di sisi lain tentunya ini berarti melanggar aturan peantren. Namun beberapa temannya bersedia membantu dan bahkan mendukungnya.
Segala sesuatu berjalan sesuai harapan sampai pada akhirnya Muhtar harus kembali memusatkan pikiran pada misinya menjadi cendikiawan, dan harus mengakui bahwa perasaannya harus dibayar dengan harga yang cukup mahal.

Premis

Seorang santri muda cerdas yang jatuh hati untuk kali pertama, ia harus menerima konsekuensinya.

Karakter

Muhtar (24) seorang santri yang berambisi menjadi seorang cendikiawan, dengan kecerdasan dan pemahaman yang mumpuni telah memulai tahun terakhirnya di sebuah pesantren. Ia mendapati dirinya semakin berkembang dalam pemikiran dan keilmuan. Tiap malam ia memecahkan masalah-masalah yang ia buat sendiri. Semuanya dapat ia jawab. Di salah satu malam, ia memimpikan sesuatu yang jarang dimimpikan oleh teman lainnya. Ia bermimpi ditemui oleh Kyai Idris, sang Pendiri Pesantren. Membuatnya menerka-nerka apa makna mimpinya itu. Hal tersebut diikuti dengan kejadian pertemuan pertamanya dengan Naila (22).
Untuk kali pertamanya, Muhtar jatuh hati kepada wanita. Di sisi lain, berpacaran sudah jelas itu melanggar peraturan pesantren. Ia mendapatkan sebuah ide untuk mengutarakan yang ia rasakan kepada Naila. Membuat sebuah kaligrafi, yang isinya adalah pertanyaan Muhtar kepada Naila, kemudian di pajang di koperasi tempat Umam bertugas. Meskipun sempat dibaca oleh Naila, namun pesan sepenuhnya tak ditangkap oleh Naila. Melihat kemungkinan tersebut, Muhtar memberanikan diri untuk mengambil jalan yang terhitung cukup ekstrim, menyapa Naila. Sapaan ini dimaksudkan supaya Naila tahu Muhtar mendesain kaligrafi tersebut untuk Naila. Dengan usaha tersebut Muhtar akhirnya tau kalau Naila juga tertarik padanya. Mereka menjalin hubungan dengan cara mereka sendiri. Muhtar mendapati dirinya berada dalam romansa yang amat indah.
Mereka saling berkirim surat, baik Muhtar ataupun Naila sama-sama selalu menantikan balasan dari surat-surat yang telah mereka kirim.
Tak jarang Muhtar menuliskan beberapa rayuan dalam rangka menikmati romansa itu. Di sisi lain, Umam yang menjadi kurir dari Muhtar dan Naila tak hentinya mengingatkan supaya Muhtar tidak terlewat batas. Muhtar mengiyakan dan meyakinkan Umam bahwa yang ia lakukan tidak melewati batas, hanya sebatas berkirim surat saja. Lebih jauhnya lagi Muhtar juga berdalil bahwa tiap ia mendapat surat balasan dari Naila, bertambah semangatnya untuk segera menyelesaikan pendidikan di pesantren lalu mengambil langkah yang lebih jauh, yaitu berkeluarga.
Umam kini semakin terang-terangan berpendapat bahwa hubungannya dengan Naila bisa saja tidak semudah itu. Tapi Muhtar selalu menampiknya dengan memberikan kalimat dan argumen optimisnya. Pada akhirnya, Umam hanya mampu mengingatkan Muhtar supaya tidak terlalu menaruh rasa yang lewat mendalam. Itulah yang dimaksud berlebihan oleh Umam.Jalil selalu menyemangati dan berpihak kepada Muhtar. Secara tak langsung Fajarpun demikian.
Bagaimanapun, terdapat sisi dari Naila yang sebenarnya tak diketahui oleh Muhtar. Naila adalah putri seorang Kyai dari pesantren di kota.
Di sisi lain, Hanif melirik Naila dan merasa tertarik padanya. Hanif adalah salah satu guru abdi yang dikirim oleh ayahnya untuk latihan mengajar di pesantren teman ayahnya itu sebelum memegang tanggung jawab yang lebih besar di pesantrennya kelak.
Di awal waktu Hanif mengajar, ia menampilkan wajah yang cukup tegas dan kaku. Beberapa kali ia sempt berdebat dengan santri atau kadang memaki muridnya yang tak dapat mencapai target penguasaan materi seperti yang ia patok. Tak luput pula Jalil, namun ditengahi oleh Muhtar.
Bagaimanapun, Pak Kyai tentu paham akan persaan Hanif keada Naila. Beberapa kali Pak Kyai menyarankan kepada Hanif untuk menyegerakan niatnya memperistri Naila, secara implisit tentunya.
Tanpa sepengetahuan Muhtar, Naila telah dipinang oleh Hanif. Muhtar masih heran karena berminggu-minggu tak ada satupun surat dari Naila.
Kabar dipinangnya Naila disampaikan oleh disampaikan dengan berat hati oleh Umam. Kini Muhtar baru paham betul yang dimakssud Umam.
Merasa terpukul, Muhtar meninggakan pesantren tanpa berkabar kepada semua temannya ataupun pengurus. Ia pulang kemudian memilih untuk bekerja serabutan. Dalam pandangannya, ia perlu menghapus segalla macam yang berkaitan dengan Naila. Termasuk membuat kaligrafi. Beberapa bulan ia berpindah-pindah tempat kerja, kadang menjadi kuli bangunan, kadang tukang cuci piring, penah juga jadi tukang parkir. Begitu terus, pulang tiap akhir bulan lalu berangkat lagi pada awal bulannya.
Suatu waktu saat ia pulang, tak diduga, Jalil telah menunggunya di ruang tamu. Mereka saling menyapa dan bertingkah seperti biasa. Namun perdebatan dengan nada tinggi sontak terjadi saat Jalil mencoba mengajak Muhtar untuk kembali ke pesantren. Perdebatan tersebut sangat alot sampai Jalil harus pamit, supaya tak berlarut-larut.
Muhtar kembali melunak saat sang Ibu memberikan beberapa saran kepadanya. Kini Muhtar dalam kebimbangan, namuntetap mempertimbangkan untuk kembali ke pesantren supaya bisa menjadi cendikiawan seperti yang sejak dulu ia cita-citakan.
Setelah merenung beberapa saat, terjaga di malam hari, ia membulatkan keputusan untuk kembali ke pesantren. Gaji yang ditabungnya untuk mendirikan sebuah usaha diberikan kepada ibunya. Ia masih memiliki sisa cita untuk menjadi seorang cendikiawan.
Namun bagaimanapun ia masih ingat betul dengan Naila, dan sakit hati yang masih berbekas. Ia masih menyimpan rasa marahnya.
Muhtar kembali ke perpustakaan, bahkan kali ini dengan gelagat yang lebih serius. Gelagatnya mengatakan seolah ia sedang mengejar sesuatu. Benar saja, ia mengejar pelampiasan. Sebuah pelampiasan amarah yang akan diarahkan pada Hanif. Muhtar berambisi membuat Hanif benar-benar tak berkutik saat Musyawarah bulan depan. Bahkan kalau bisa, Hanif tampak plonga-plongo saat Musyawarah sebagai pembicara. Muhtar mengumpulkan segala macam dalil dari semua aliran. Amunisinya telah lengkap, ia sipa untuk menghadapi Hanif dan mempermalukannya.
Musyawarah digelar, hampir seluruh santri putra hadir. Wajah mereka tampak ceria, begitupun Hanif, tenang dan penuh percaya diri. Beberapa santri tampak antusias, mereka sampai membawa beberapa kitab rujukan untuk mengonfirmasi segala arguen yang nantinya dimungkinkan keluar dari para peserta, syawir. Beberapa hanya menerima saja, jadi membawa buku catatan. Tak jarang pula mereka yang hadir dengan bekal secangkir kopi supaya bisa tetap terjaga dan melihat para peserta beradu argumen.
Suasana yang mulanya riuh dan enjoy seperti biasanya, mendadak sepi dan sedikit tegang tatkala Muhtar menyampaikan kritik pertamanya. Hanif menyikapinya dengan santai dan biasa saja. Bagaimanapun, Muhtar teah menyiapkan semua argumen dan dalil yang akan ia lontarkan. Hanif terpancing dan ikut gaya main Muhtar. Mukanya merah padam. Tanpa ampun, Muhtar terus membuat hanif berada dalam posisi yang terpojok. Segala pernyataan sekecil apapun yang dilontarkan Hanif dijadikan senjata oleh Muhtar untuk menyerang balik. Muhtar merasa menang, moderator segera menyudahi musyawarah yang semakin memanas itu.
Sebagai perayaan, Muhtar mengajak Jalil, Fajar, dan Umam untuk ngopi di warung pojok. Muhtar tampak cukup ceria sekali, sembari mengulang beberapa momen saat serangannya cukup telak ia lontarkan kepada Hanif. Namun tampaknya teman-teman Muhtar memberikan reksi yang berbeda. Mereka tidak terlalu senang dengan gaya Muhtar saat Musyawarah tadi. Jalil yang paham betul dengan Muhtar mencoba menyampaikan pandangan pribadi dan nasehatnya untuk Muhtar sehalus mungkin. Kemudian Jalil berpamitan, disusul Fajar dan Umam. Muhtar hanya termangu.
Muhtar kembali ke perpustakaan, ia ingat akan mimpi yang mengisi tidurnya tempo hari. Pertemuannya dengan Kyai Idris, pendiri pesantren. Muhtar menahan isak tangisnya, menyesali perbuatannya tadi. Sejenak dalam penyesaln itu Kasi dirasah masuk perpustakaan. Memandangi Muhtar dengan tatapan yang sedikit lebih serius, kemudian memulai pembicaraan dengan mengaresiasi kecerdasan Muhtar. Ia juga senang punya teman yang cerdas seperti Muhtar. Kasi Dirasah hanya mengingatkan Muhtar bahwa kecerdasan tidak seharusnya digunakan untuk menjatuhkan martabat orang lain.
Muhtar hanya terdiam untuk beberapa waktu yang cukup lama. Setelah menarik nafas panjang, Muhtar meminta maaf kepada Kasi Dirasah atas apa yang telah ia lakukan. Ia juga mengatakan bahwa ia akan meminta maaf kepada Hanif.
Pada akhirnya, buku yang disusun oleh Muhtar dan Kasi dirasah telah terbit dan dibaca oleh para santri. Muhtar kini menjadi salah satu Kasi Dirasah yang ikut menyusun kurikulum pengajaran pesantren dan mengajar beberapa santri. Tak jarang juga ia menyempatkan ngoi dengan Jalil dan Fajar di warung pojok.
Lihat selengkapnya