Blurb
Hamid dan Murni telah menjalani kisah asmaranya selama kurang lebih dua tahun. Saat asmaranya sedang bertahta di atas puncak kejayaan, tiba-tiba Murni menyatakan harus pergi ke negeri tetangga demi untuk mengadu nasib karena keadaan.
Kini Hamid harus tinggal jauh terpisah dari kekasihnya di saat media komunikasi hanya lewat surat-menyurat atau telepon jika dana mendukung. Hanya sebuah cincin pemberian Murni yang menemaninya kemanapun ia melangkah.
Dalam kegalauannya, Hamid sempat melayangkan tinjunya ke sebuah lemari kayu hingga membuat cincinnya retak. Pikiran buruk mulai menguasainya. Apakah itu pertanda hubungannya dengan Murni akan retak juga? Apakah Murni akan meninggalkannya untuk selamanya? Sejak saat itu, cincin retak yang melingkar di jari manisnya selalu menghantui perasaannya, bahkan menjadikannya seperti orang yang sakit jiwa.
Karakter
Selama di Pondok, Hamid tidak pernah mengenal namanya cinta. Apalagi di pondoknya hanya ada kaum adam. Sebelum lulus, ia sempat kenal dengan seorang gadis di kampungnya yang membuat ia mabuk kepayang. Gadis tersebut bernama Murni.
Saat cinta sedang bersemi, gadis pujaannya pergi merantau ke Brunei Darussalam selama dua tahun lebih. Sebelum pergi merantau, Murni menyelipkan sebuah cincin di jari Hamid. Cincin itulah yang setia menemani Hamid kemanapun Hamid melangkah. Berhubung saat itu handphone belum ada, komunikasi makin tersendat. Paling hanya lewat surat atau lewat telepon jika dana mendukung. Keadaan seperti itu membuat ia makin terganggu batinnya, hingga ia sering kali berprasangka yang bukan-bukan terhadap Murni. Dalam keadaan galau, Hamid melayangkan tinjunya pada sebuah lemari kayu hingga menyebabkan cincin pemberian Murni retak.
Melalui surat, Hamid menceritakan apa yang terjadi kepada Murni. Ia juga menyampaikan bahwa sempat terpikir akan melepaskan dirinya dari Murni. Tapi bukan berarti ia mempunyai gadis pilihan yang lain. Ia hanya merasa keadaannya yang masih belum mapan sehingga tidak pantas untuk bersanding dengan Murni. Mendengar kabar yang kurang manis itu membuat Murni kecewa dan memutuskan tali cintanya terhadap Hamid dengan alasan sepupunya yang bernama Diah menghalanginya untuk berhubungan dengan Hamid. Sedangkan Hamid sama sekali tidak ada hubungan apa-apa dengan sepupunya itu. Hamid pun menjelaskan perkara yang sebenarnya dan pada hakikatnya Murni pun mau menerima alasan Hamid. Akan tetapi, sejak kejadian itu perasaan buruk selalu menghantuinya setiap kali ia melakukan berbagai macam aktivitas. Ia menjadi begitu peka dan sensitif saat melihat atau mendengar sesuatu. Adakalanya ia mendengar lagu romantis yang menceritakan tentang kerinduan seorang gadis kepada kekasihnya, maka dengan spontan ia akan ikut terbawa perasaannya. Ia membayangkan bahwa Murni juga sedang merindukannya yang menyebabkan timbulnya rasa bahagia pada dirinya karena dirindukan. Sebaliknya juga demikian. Saat ia mendengarkan lagu kerinduan seorang pria karena ditinggal kekasihnya, maka ia juga akan hanyut ke dalam perasaan yang sedih dan menusuk hatinya.
Yang paling parah adalah setiap kali ia menemukan atau melihat dua buah benda yang sama, ia selalu menganalogikan kedua benda tersebut bagaikan dirinya dengan Murni. Ketika melihat salah satunya ada yang kurang, maka ia melihat bahwa salah satu di antara mereka berdua juga ada yang kurang. Misalnya saat ia melihat dua buah gelas yang sama dengan volume air yang berbeda, maka ia akan membaginya dengan rata dengan cara menuangkan gelas yang airnya berisi banyak ke dalam gelas yang airnya berisi sedikit hingga akhirnya dibuat sama rata. Pernah terjadi juga saat ia melihat dua buah kertas berbentuk lingkaran berwarna merah muda terserak di tempat yang berbeda. Tanpa rasa segan, ia segera mengumpulkan kedua kertas itu pada suatu tempat yang aman. Hal itu dilakukannya agar dirinya dan Murni menyatu dalam tempat yang aman juga.
Karena seringnya perasaan itu timbul dalam dirinya, lama-lama membuat mentalnya lemah. Beberapa kali ia menghubungi Murni sekedar melepas rasa rindu yang menggelayutinya atau juga memastikan keadaan Murni baik-baik saja dan masih tetap mencintainya. Akan tetapi setiap kali menghubunginya lewat telepon, selalu saja rasa khawatir itu tetap muncul dalam benaknya. Pikiran-pikiran negatif kerap kali mencabik-cabik perasaannya.
Begitu lama tak ada kabar dari Murni, sampai akhirnya Murni mengirimkan surat kepada Hamid dan memohon maaf atas perlakuannya terhadap Hamid karena telah memutuskan cintanya. Hamid menyangka bahwa surat dan permohonan maaf itu merupakan sinyal hijau baginya sehingga kemungkinan besar Murni akan kembali kepadanya. Namun seribu kali sayang, permohonan maaf itu adalah benar-benar permohonan maaf yang hakiki tanpa embel-embel dan harapan setitik pun, dua pekan setelah datangnya surat itu, Murni malah menikah dengan pria lain sekembalinya dari Brunei .
Hamid benar-benar putus asa dan membenci semua gadis tanpa terkecuali. Ia menganggap bahwa semua gadis hanya mau enaknya saja, tak mengerti arti perihnya rindu bak teriris sembilu. Dalam kehancuran hati, ia tetap melanjutkan kuliahnya yang nyaris hancur karena masalah asmara. Namun ia juga melakukan refleksi diri, bahwa rasa cinta yang berlebihan akan membuat seseorang akan terpuruk dan terganggu mentalnya. Rasa curiga dan prasangka buruk terhadap pasangan hanya akan melahirkan krisis kepercayaan yang dapat menghancurkan hubungan asmara antara keduanya.
Kepedihannya mulai berakhir ketika ia ingat dengan seorang gadis yang dulu sempat dikenalnya saat ia mengisi pesantren kilat di kampung. Ia adalah Lia, gadis cantik yang sederhana dan taat kepada orang tua. Entah kenapa saat itu ia mulai tergugah untuk menjalin tali silaturahmi dengannya, hingga akhirnya Lia berhasil mengobati hati Hamid dan Hamid pun bertekad mempersuntingnya. Kini keduanya hidup berbahagia dalam keluarga yang penuh dengan ketenteraman.