Blurb
Kisah seorang gadis autis bernama Anandya Dianti Parmadita yang berusia 17 tahun dengan pengalamannya pertama kali keluar dari rumah dalam rangka melanjutkan studi kuliah ke Bandung. Akrab dipanggil "Dya", gadis ini harus menguatkan dirinya berpisah dengan ayah, bunda, dan adiknya karena ia diterima di salah satu Fakultas Ilmu Hayati di Kota Bandung. Berawal dari keraguan Bundanya terkait pilihan kuliah ke luar kota yang ternyata adalah awal langkah perjuangan Dya untuk menjadi lebih mandiri, meskipun itu tidaklah mudah. Bundanya yang juga seorang dosen ilmu hayati di Jakarta tidak dapat mencegah keinginan Dya untuk melatih dirinya agar lebih mandiri (jauh dari orangtua). Namun bersamaan dengan itu bunda telah memikirkan 1001 cara untuk tetap dapat melindungi gadis autisnya itu. Salah satunya adalah menitipkan Dya ke kos-kosan milik sahabat bunda bernama Tante Bintang. Selain itu bunda juga merekomendasikan Dya untuk memilih Institut tempat suami Tante Bintang bekerja sebagai dosen. Hal ini dilakukan bunda semata-mata untuk memastikan bahwa akan banyak mata yang mengawasi gadis autisnya itu. Tidak hanya keluarga Tante Bintang yang turut membantu Dya menuju hidup yang lebih mandiri. Ia juga dipertemukan oleh sosok laki-laki muda yang merupakan keponakan suami Tante Bintang. Ia bernama Lingga, seorang mahasiswa program magister di Institut yang sama yang juga dipercaya mengelola Coffee Shop & Art Studio milik kakeknya yang berada tepat di depan kediaman Tante Bintang. Lingga menjadi salah satu orang yang diandalkan bunda untuk menjaga Dya dari kejauhan. Selain itu, dua orang teman pertama Dya di kampus juga turut dimanfaatkan bunda untuk menjadi mata-mata dan tentunya juga menjaga Dya selama di kampus. Mereka bernama Amel dan Aorta. Dua orang yang menunjukkan ketulusan dari awal perkenalan dengan Dya, si gadis autis.
Namun semua tidak berjalan mulus sesuai yang diharapkan bunda. Tiba-tiba muncul isu yang menggemparkan fakultas terkait dugaan penipuan yang dilakukan Dya dan keluarganya. Mereka dianggap membuat kondisi anaknya seakan-akan autis untuk dapat masuk fakultas favorit itu. Di sisi yang lain dugaan itu disandingkan dengan asumsi jika memang Dya adalah individu autis, maka ia dapat membahayakan mahasiswa lain jika kedapatan mengamuk di area kampus. Orang-orang terdekat yang senantiasa ada bersama Dya tidak tinggal diam. Mereka berusaha mencari tahu siapa pelakunya. Dya yang mendapatkan serangan panik atas dua kondisi yang menganggunya (ketidakhadiran bunda dan serangan ujaran kebencian)itu membuatnya harus menenggak obat penenang untuk meredakan kecemasan yang menyiksanya. Bersamaan dengan itu ternyata kakak dari Aorta yang bernama Cava yang merupakan kakak angkatan mereka di kampus menemukan siapa pelaku yang menyebarkan isu tersebut. Berhubung isu ini telah sampai pada orangtua mahasiswa, dekan meminta Cava menjelaskan secara rinci siapa dan apa motifnya.
Siapakah pelakunya? Apakah Anandya berhasil menlewati masalah pertama dalam hidupnya? Simak Skenario ini sampai habis ya.
Terimakasih,
Isti Anindya (Ibu dari Anak dengan Spektrum Autisme)
Instagram @istianindya
Karakter
Kisah seorang gadis autis bernama Anandya Dianti Parmadita yang berusia 17 tahun dengan pengalamannya pertama kali keluar dari rumah dalam rangka melanjutkan studi kuliah ke Bandung. Akrab dipanggil "Dya", gadis ini harus menguatkan dirinya berpisah dengan ayah, bunda, dan adiknya karena ia diterima di salah satu Fakultas Ilmu Hayati di Kota Bandung. Berawal dari keraguan Bundanya terkait pilihan kuliah ke luar kota yang ternyata adalah awal langkah perjuangan Dya untuk menjadi lebih mandiri, meskipun itu tidaklah mudah. Bundanya yang juga seorang dosen ilmu hayati di Jakarta tidak dapat mencegah keinginan Dya untuk melatih dirinya agar lebih mandiri (jauh dari orangtua). Namun bersamaan dengan itu bunda telah memikirkan 1001 cara untuk tetap dapat melindungi gadis autisnya itu. Salah satunya adalah menitipkan Dya ke kos-kosan milik sahabat bunda bernama Tante Bintang. Selain itu bunda juga merekomendasikan Dya untuk memilih Institut tempat suami Tante Bintang bekerja sebagai dosen. Hal ini dilakukan bunda semata-mata untuk memastikan bahwa akan banyak mata yang mengawasi gadis autisnya itu. Tidak hanya keluarga Tante Bintang yang turut membantu Dya menuju hidup yang lebih mandiri. Ia juga dipertemukan oleh sosok laki-laki muda yang merupakan keponakan suami Tante Bintang. Ia bernama Lingga, seorang mahasiswa program magister di Institut yang sama yang juga dipercaya mengelola Coffee Shop & Art Studio milik kakeknya yang berada tepat di depan kediaman Tante Bintang. Lingga menjadi salah satu orang yang diandalkan bunda untuk menjaga Dya dari kejauhan. Selain itu, dua orang teman pertama Dya di kampus juga turut dimanfaatkan bunda untuk menjadi mata-mata dan tentunya juga menjaga Dya selama di kampus. Mereka bernama Amel dan Aorta. Dua orang yang menunjukkan ketulusan dari awal perkenalan dengan Dya, si gadis autis.
Namun semua tidak berjalan mulus sesuai yang diharapkan bunda. Pada hari kedua masa orientasi Dya di kampus, dokter THT memaksa bunda untuk segera melakukan operasi sinusitis yang ia tunda bertahun-tahun lamanya. Hal tersebut karena belakangan gejala yang bunda rasakan makin berat dan berisiko merusak selaput otaknya. Akhirnya bunda memutuskan untuk menutupi kepergiannya ke rumah sakit untuk operasi dari kedua putrinya. Ketidakhadiran bunda pada hari yang ia janjikan pada Dya di Lembang, membuat Dya sangat resah dan gelisah. Di satu sisi gadis autis yang sangat bergantung pada bundanya itu merasa belum bisa menyelesaikan masalah apapun tanpa bundanya. Ia merasakan bahwa ternyata sangat berat untuk menjadi mandiri tanpa kehadiran keluarga di sisinya. Di saat yang bersamaan muncul isu yang menggemparkan fakultas terkait dugaan penipuan yang dilakukan Dya dan keluarganya. Mereka dianggap membuat kondisi anaknya seakan-akan autis untuk dapat masuk fakultas favorit itu. Di sisi yang lain dugaan itu disandingkan dengan asumsi jika memang Dya adalah individu autis, maka ia dapat membahayakan mahasiswa lain jika kedapatan mengamuk di area kampus. Orang-orang terdekat yang senantiasa ada bersama Dya tidak tinggal diam. Mereka berusaha mencari tahu siapa pelakunya. Dya yang mendapatkan serangan panik atas dua kondisi yang menganggunya (ketidakhadiran bunda dan serangan ujaran kebencian)itu membuatnya harus menenggak obat penenang untuk meredakan kecemasan yang menyiksanya. Bersamaan dengan itu ternyata kakak dari Aorta yang bernama Cava yang merupakan kakak angkatan mereka di kampus menemukan siapa pelaku yang menyebarkan isu tersebut. Berhubung isu ini telah sampai pada orangtua mahasiswa, dekan meminta Cava menjelaskan secara rinci siapa dan apa motifnya. Pelaku penyebar isu itu ternyata adalah Melinda, kakak kelas yang juga teman Cava. Tidak ada yang menduga dialah yang melakukan ini. Dibalik itu semua ternyata terungkap fakta bahwa adik Melinda juga penyandang autisme. Iya melakukan ini semata-mata karena trauma dengan individu autis. Ia mereka individu autis itu membahayakan, seperti adiknya yang pernah memukulnya sampai hidungnya patah dan harus dioperasi. Terungkap fakta juga ternyata Melinda pernah menyakiti individu autis yang ia temui di jalan.
Masalah tidak selesai ketika dekan memutuskan untuk memberikan skorsing kepada Melinda. Ternyata Melinda sangat marah kepada Dya yang dia anggap penyebab dirinya terlibat masalah ini. Iapun menyuruh orang untuk menyerempet Dya saat pulang kuliah. Beruntung saat itu Dya ditemani Lingga, sehingga tidak terjadi luka yang serius. Namun serangan panik kembali menyerang Dya dan diapun dibawa ke rumah sakit. Di saat yang bersamaan akhirnya bunda muncul dengan bekas operasi yang ia tutupi dengan masker. Dya yang kembali bertemu dengan bundanya merasa lebih aman dan tenang. Apa yang dilakukan Melinda kepada Dya tidak diteruskan pada pihak yang berwajib. Karena bunda lebih tertarik untuk berbicara baik-baik dengan orangtua Melinda. Dari sana terungkaplah fakta bahwa betapa menderitanya Melinda selama ini sehingga mengalami gangguan psikis yang begitu berat. Dya yang merasa iba pada Melinda, memberikan ide untuk mengundang adiknya melukis bersama di art studio milik suami Tante Bintang. Pada pertunjukkan itu ternyata adik Melinda yang berusia 10 tahun itu menggambar wajah kakaknya dan momen ketika ia pertama kali disuapi es krim. Saat itu Melinda diam-diam juga menyimak acara itu. Ia sangat terkejut ketika adiknya yang autis untuk pertama kali mengeluarkan kata-kata dan mengatakan bahwa ia sangat sayang pada kakaknya. Pada saat itu juga Melinda sadar dan ia memeluk adiknya dan berterimakasih kepada Dya yang sudah turut membuka matanya melihat bahwa apapun kondisi kita, cinta itu tetap layak untuk semua. Keadaanpun mulai membaik dan bunda menawarkan dua pilihan pada Dya, tetap melanjutkan kuliah di Bandung, atau balik ke Jakarta dan mencari fakultas serupa di sana. Dya memutuskan untuk tetap di Bandung dan menyelesaikan studinya. Ia merasa awal keberaniannya menjadi mandiri sudah dimulai dan sayang sekali jika ia harus mundur dan kembali masuk ke dalam sangkar. Kisahpun berakhir ketika semua berbahagia dan dapat menjalankan kehidupan sesuai takdirnya masing-masing. Termasuk Lingga yang akhirnya diterima beasiswa S3 dan akan segera berangkat ke Stanford. Rasa nyaman dan sayang yang muncul kepada Lingga membuat Dya berat melepas kakak yang baik hati itu. Iapun menyampaikan kepada Amel, bahwa suatu saat ia akan menyusul Kak Lingganya itu ke Stanford. Kisah ini ditutup dengan senyuman optimis Dya menatap masa depan yang lebih mandiri meskipun ia adalah seorang gadis yang tumbuh dengan spektrum autisme.