Mengapa Aku Berbeda?

Oleh: Imajinasiku

Blurb

Aku menulis cerita ini bukan dalam satu malam, bukan pula dalam satu musim. Cerita ini tumbuh perlahan, bertahun-tahun—dari kegelisahan yang tidak pernah mau diam, dari pengamatan pada kehidupan orang-orang kecil yang sering tidak dianggap penting, dari kesunyian yang memantul-mantul di dalam kepala, hingga akhirnya meminta untuk dituangkan menjadi sebuah kisah.

Skenario Mengapa Aku Berbeda lahir dari perenungan sederhana tentang hidup: bahwa manusia selalu tampak berlari mengejar sesuatu—uang, status, pengakuan, cinta, bahkan mimpi yang belum tentu berasal dari dirinya sendiri. Dari sana, lahirlah tokoh Rayyan, seorang remaja yang hidup di perkampungan nelayan, yang tumbuh bersama nasib yang tak memberinya banyak pilihan. Namun ia memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar latar hidup: ia punya cara berpikir yang tidak biasa. Cara melihat dunia yang lebih dalam daripada usianya, lebih jujur, dan lebih sunyi.
Tumbuh di lingkungan sederhana membuatku sering menyaksikan bagaimana kerasnya hidup mampu meremukkan banyak keluarga. Ada anak yang harus berhenti sekolah demi menghidupi rumah, ada keluarga yang terpuruk karena kepergian kepala rumah tangga, ada pula anak-anak yang diam-diam membawa beban besar tanpa pernah benar-benar dimengerti oleh siapa pun—bahkan oleh orang-orang yang tinggal serumah dengannya.
Dari sanalah benang kisah ini mulai dirajut.

Dari obrolan para nelayan di tepi perahu; dari isak tangis seorang ibu yang kehilangan suaminya karena kecelakaan laut; dari anak-anak yang pulang sekolah sambil menyeret sandal jepit rusak; dari wajah-wajah yang menua terlalu cepat karena memaksa diri kuat demi keluarga. Sebagian besar kisah ini adalah pantulan dari realitas itu. Sebagian lagi adalah doa, dan sisanya adalah harapan yang ingin kuabadikan.
Tokoh Pak Matlap, misalnya, terinspirasi dari banyak lelaki tua yang kukenal—keras, sederhana, dan tidak pernah mengeluh meski dunia seolah tak pernah berpihak. Sosok yang jarang dilihat, namun diam-diam menjadi tulang punggung keluarga yang rapuh.
Tokoh Bu Husnawati hadir untuk menggambarkan realita lain: bahwa manusia bisa menjadi cerewet bukan karena jahat, tapi karena ketakutan yang tidak pernah mereka ucapkan.

Dan tentu saja, tokoh Cholifah. Ia lahir dari sosok-sosok perempuan muda yang kukenal: lembut, cerdas, keras kepala, dan diam-diam memikul lebih banyak luka daripada yang ia tunjukkan
Tapi alasan paling inti mengapa cerita ini kutulis adalah Rayyan.
Untuk mewakili mereka yang "berbeda".
Yang memandang dunia bukan hanya dari apa yang terlihat, tetapi dari apa yang terasa.
Yang sering dianggap pemalu, aneh, penyendiri—padahal mereka hanya berpikir terlalu dalam untuk dunia yang terlalu dangkal.
"Mengapa Aku Berbeda" bukan hanya kisah perjuangan seorang anak nelayan.
Bukan sekadar kisah cinta sederhana.
Bukan hanya tentang kehilangan seorang ayah atau kerasnya ekonomi.
Ini adalah perjalanan batin.
Perjalanan seorang anak mencari makna tentang hidup, tentang tujuan, tentang pencarian yang lebih besar dari sekadar uang atau keberhasilan.
Perjalanan menuju kedewasaan yang kadang dimulai dari luka paling pahit.
Aku ingin pembaca—atau penonton nanti—melihat bahwa setiap manusia punya caranya sendiri bertahan.

Ada yang berlari, ada yang berteriak, ada yang memaki hidup, dan ada pula yang memilih diam lalu memotret dunia melalui lensa kecil, sembari mencoba menambal luka keluarganya satu demi satu.
Rayyan adalah mereka.
Rayyan adalah kita.

Dan barangkali, Rayyan adalah bagian diriku yang selama ini diam.
Jika skenario ini berhasil membuatmu berhenti sejenak dan bertanya,
"Mengapa aku berbeda?"
maka mungkin, sebenarnya, kita semua memang begitu.

Dan tak ada yang salah dengan itu.

Lihat selengkapnya