Sanubari (Script)

Oleh: Imajiner

Blurb

INI ADALAH CERITA SANUBARI VERSI SKRIP FILM GUNA KEPERLUAN #FalconXKwikku #StarScriptHunt

Seperti namanya, Hakim, adalah seorang anak muda yang bercita-cita menjadi seorang Hakim yang terpandang dan adil di Indonesia. Hakim duduk di kelas tiga SMA, ia tidak begitu cerdas, namun dorongan mimpi besarnya membuat Hakim selalu giat dalam belajar. Teman-temannya melihat Hakim adalah orang yang sok ambisius, namun Hakim selalu menghiraukan semua omongan teman-temannya dan fokus kepada mimpinya.

Hakim dibesarkan dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya, Hasan, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah dasar yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Ibunya, Nurlidya, adalah seorang ibu rumah tangga yang membantu keuangan suaminya dengan menjadi pembantu harian.

Hakim sadar akan kondisi keluarganya itu, ia sebisa mungkin untuk tidak meminta apapun dari orang tuanya, walaupun Hakim tahu butuh persiapan matang dan ekstra ketika nanti mengikuti ujian nasional, salah satunya dengan mengikuti kursus. Namun biaya kursus yang relatif mahal, membuat Hakim berinisiatif untuk belajar dengan mandiri.

Cita-cita menjadi seorang Hakim, terilhami dari mirisnya Hakim melihat kondisi hukum di tanah air yang kacau balau. Banyak ketimpangan hukum yang terjadi disini, tersangka korupsi yang dihukum sangat ringan, berbanding terbalik dengan seorang lansia yang ketahuan mencuri kayu bakar hanya demi memasak malah dihukum sangat berat.

Oleh karena itu menjadi seorang Hakim adalah cita-cita yang tepat bagi Hakim, selain membantu menaikkan nilai hukum di Indonesia, ia juga dapat mengangkat martabat bagi keluarganya kelak.

Premis

Seorang anak yang baru lulus SMA terpaksa mengambil ‘Gap Year" lantaran ia gagal mewujudkan cita-citanya kuliah di universitas dan jurusan yang dia mimpikan. Namun, berada di fase ‘Gap Year" membuat anak muda ini merasakan pergolakan batin yang menyiksa dalam dirinya.

Karakter

Seperti namanya, Hakim adalah seorang anak muda yang bercita-cita menjadi seorang Hakim yang terpandang dan adil di Indonesia. Hakim duduk di kelas tiga SMA, Ia tidak begitu cerdas, namun dorongan mimpi besarnya membuat Hakim selalu giat dalam belajar. Teman-temannya melihat Hakim adalah orang yang sok ambisius, namun Hakim selalu menghiraukan semua omongan teman-temannya dan fokus kepada mimpinya.

Hakim dibesarkan dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya, Hasan, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah dasar yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Ibunya, Nurlidya, adalah seorang ibu rumah tangga yang membantu keuangan suaminya dengan menjadi pembantu harian di rumah ibu lurah.

Hakim sadar dengan kondisi keluarganya. Ia sebisa mungkin tidak meminta apapun dari orang tuanya, walaupun Hakim tahu butuh persiapan matang dan ekstra ketika mengikuti ujian nasional, salah satunya dengan mengikuti kursus. Namun biaya kursus yang relatif mahal, membuat Hakim berinisiatif untuk belajar dengan mandiri.

Sebagai orang tua, Hasan dan Nurlidya sangat mendukung keputusan Hakim, mereka berdua selalu mendoakannya anaknya untuk mendapatkan yang terbaik. Namun suatu ketika, Nurlidya mencoba bertanya kepada Hakim, apakah ia sudah menyiapkan pilihan lain seandainya tidak lolos seleksi masuk universitas pilihannya tersebut.

Hakim kecut, ia merasa ibunya tidak yakin akan kemampuannya. Hasan berdalih, Nurlidya bukannya tidak yakin kepada anaknya, tapi alangkah baiknya Hakim memiliki pilihan lain untuk berjaga-jaga. Hakim tidak menjawab hal itu dan melenggang kesal.

Ternyata bukan hanya orang tuanya yang meragukan kemampuan Hakim, para tetangga di sekitar desanya juga skeptis ketika Hakim bercita-cita masuk universitas tersebut. Karena universitas itu sudah mempunyai nama yang besar dan memiliki lulusan yang berkompeten.

Diri Hakim sempat risau, gundah karena keraguan dan cibiran tersebut. Ia lalu menghabiskan waktu sendirian untuk menenangkan dirinya, salah satunya dengan berolahraga lari. Baginya kegiatan itu perlahan bisa mengurangi beban yang ia pikirkan.

Ketika berolahraga, Hakim sempat menolong seorang bapak tua yang jatuh pingsan. Dengan sifat penolongnya, Hakim tanpa ragu menolong bapak tersebut walau ia sama sekali tidak mengenali siapakah bapak tua tersebut. Ia membawanya ke rumah sakit hingga keluarga dari bapak tua itu datang.

Semangat belajar Hakim yang tidak kenal lelah terlihat hasilnya Ketika pada pengumuman Ujian Nasional, Hakim berhasil mendapatkan nilai yang sangat baik. Hakim bahkan masuk dalam jajaran lima besar nilai tertinggi di sekolahnya. Ini adalah suatu penghargaan bagi dirinya mengingat ia sama sekali belum pernah berprestasi. Dengan rasa percaya dirinya yang tinggi Hakim yakin, ini adalah modal bagus bagi SNMPTN yang akan diumumkan dua minggu dari sekarang.

Namun ekspektasi tersebut runtuh kala Hakim melihat hasil SNMPTN. Namanya tidak lolos. Dirundung rasa kecewa, Hasan dan Nurlidya coba menenangkan Hakim. Hakim merasa ia masih layak berjuang masuk ke universitas pilihannya. Atas seizin Hasan dan Nurlidya, akhirnya Hakim mendaftar SBMPTN. Dia kembali belajar, dengan menambah intensitas seperti halnya belajar Ujian nasional, Hakim yakin dirinya akan lolos kali ini.

Kembali, persiapan yang Hakim rasa telah baik, justru lagi-lagi tidak dibarengi dengan hasil yang baik, Hakim gagal lolos SBMPTN bahkan kali ini kekecewaan Hakim begitu dalam, ia merasa bersalah mengingat orang tuanya sudah mengeluarkan biaya untuk tes. Hakim merasa ia tidak bisa membayar kepercayaan orang tuanya. Sebagai orang tua, Hasan dan Nurlidya hadir disisi Hakim untuk kembali menenangkan anak tunggalnya tersebut. Mereka merasa Hakim telah melakukan yang terbaik untuk mengejar mimpinya. Hasan bahkan mengingatkan kepada Hakim, manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan.

Namun Hakim dengan idealismenya masih menolak untuk menyerah, ia mencoba mengikuti satu cara yang tersisa, yaitu seleksi mandiri. Sekali lagi, Hakim berdiskusi langsung kepada orang tuanya, akan tetapi Nurlidya mulai tidak setuju dengan rencana anaknya kali ini. Nurlidya merasa anaknya harus menyadari dan lebih baik masuk ke universitas lain karena itu pilihan yang realistis. Hakim tidak mau, ia terus mencoba meyakinkan ibunya. Hakim yang dibantu oleh ayahnya akhirnya berhasil membuat Nurlidya mengizinkannya untuk mengikuti seleksi mandiri tersebut.

Hari pengumuman pun datang. Ketika Hakim melihat hasilnya, Hakim kembali merasakan kekecewaan dan kepedihan. Untuk terakhir kalinya ia dinyatakan gagal. Tidak ada cara lagi untuk mewujudkan cita-citanya. Hakim terus menyalahkan diri sendiri, ia merasa ia sudah belajar dengan giat dan baik, tapi mendapatkan hasil yang sebaliknya. Hasan dan Nurlidya memahami kondisi Hakim, mereka berdua meminta Hakim untuk memilih universitas yang lain.

Namun Hakim yang masih berpegang teguh pada idealismenya, membuat suatu pernyataan yang mengagetkan orang tuanya. Hakim berinisatif cuti satu tahun untuk kembali mengikuti ujian universitasnya tahun depan. Hasan tidak menyetujuinya, namun Hakim terus meyakinkan Hasan. Hakim berjanji akan mengisi kegiatan cutinya dengan hal yang bermanfaat, dengan belajar, membaca buku di perpustakaan kota, hingga mengikuti seminar gratis tentang hukum. Akhirnya Hasan pun luluh dan menyetujui Hakim untuk cuti / gap year.

Setelah beberapa kegiatan yang Hakim lakukan untuk mengisi waktu cuti / Gap Yearnya, untuk pertama kali Hakim bingung dan bosan. Hakim bingung karena kegiatan ‘bermanfaatnya" habis namun jarak seleksi masih sangat lama. Akhirnya Hakim berinisiatif untuk membantu Nurlidya, Hakim ingin membantu ibunya menjadi buruh cuci hingga pembantu harian. Nurlidya jelas tidak menyetujuinya, namun kondisinya yang sudah tidak sekuat dulu menyadarinya bantuan Hakim itu adalah ide yang bagus.

Profesi Hakim ini pun mendapat cibiran dari warga sekitar, banyak yang menanyakan mengapa ia tidak melanjutkan kuliah? Dan lebih memilih bekerja serabutan seperti ibunya? Bahkan ketika bekerja sebagai pembantu harian di rumah Ibu lurah, Ibu lurah sering menyindirnya, ibu lurah membandingkan Hakim dengan anaknya yang sudah kuliah.

Tidak tahan dengan cibiran-cibiran yang Hakim dapatkan, akhirnya Hakim memutuskan untuk berhenti menjadi pembantu harian. Ibunya memakluminya, dan Hakim kini lebih banyak membantu membereskan pekerjaan rumah.

Situasi diperparah dengan Hasan yang kecelakaan ketika pulang mengajar. Tidak adanya pemasukkan membuat Hakim berpikir bagaimana caranya untuk membantu keuangan orang tuanya. Hingga akhirnya Hakim mendapatkan sebuah gagasan ketika melihat penawaran lowongan kerja dari sebuah pabrik. Hakim mendiskusikan hal ini kepada Hasan dan Nurlidya. Mereka berdua jelas menolak ide Hakim tersebut, namun Hakim berdalih kalau ini semua akan membantu pembiayaan Hasan dan juga sedikitnya bisa membalas jasa uang SBMPTN dan uang seleksi yang dulu pernah orang tuanya cari hingga berhutang sana-sini. Hasan dan Nurlidya akhirnya manut pada inisiatif anaknya. Mereka juga tidak bisa membohongi diri mereka sendiri. Hasan yang tidak ada pemasukkan karena sedang cuti menjadi penyebabnya.

Beberapa bulan Hakim menjalani tugas barunya sebagai seorang ‘Buruh Kontrak" Ia masih mendapat cibiran dari orang-orang disekitarnya. Puncak kekesalannya ketika ia Shalat Maghrib di Masjid. Hakim yang baru pulang dari pabrik dengan menggunakan seragam pabrik, dicibir oleh Haji Firman. Salah satu sesepuh yang ada di kampung. Haji Firman kaget lantaran melihat Hakim pulang dengan seragam itu. Haji Firman bertanya mengapa Hakim mau bekerja seperti itu, bahkan Haji Firman membandingkannya dengan anaknya yang sudah bekerja sukses. Cibiran Haji Firman itu membuat hati Hakim teriris. Ia menangis ketika pulang ke rumah.

Hakim menyembunyikan tangisan di hadapan orang tuanya, ia tidak bisa tidur dan selalu memikirkan cibiran-cibiran dari orang sekitarnya. Ia merasa sebagai anak yang tak berguna yang belum bisa membahagiakan dan membantu orang tuanya yang sedang dalam kondisi seperti ini. Ia merasa bodoh atas sikap-sikap idealismenya untuk masuk ke universitas yang dia impikan. Malam itu dia terus menyalahkan diri sendiri.

Akhir pekan tiba, Hakim menyempatkan diri untuk berolahraga lari pagi untuk menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang ada di kepalanya. Ketika Hakim tengah beristirahat, Hakim bertemu dengan Pak Rudi. Pak Rudi adalah seorang pria dengan umur sekitar 70 tahun yang pernah Hakim bantu ketika Pak Rudi tiba-tiba tidak sadarkan diri di trek lari. Hakim kaget Pak Rudi masih mengenalinya, bahkan Pak Rudi berulang kali mengucapkan terima kasih kepada Hakim yang membawanya ke rumah sakit dengan cepat. Jika tidak, mungkin Pak Rudi tidak bisa berolahraga disini untuk selamanya.

Pak Rudi dan Hakim saling mengobrol, hingga akhirnya tiba di suatu diskusi ketika Pak Rudi bertanya mengenai keseharian Hakim dan Hakim pun menceritakannya dengan lengkap. Tidak disadari ketika Pak Rudi giliran bercerita, ternyata Pak Rudi adalah seorang pensiunan militer. Ia bahkan menyuruh Hakim untuk mendaftar sebagai calon taruna militer. Hakim tidak menjawab apapun, ia hanya terdiam dan mengangguk berterima kasih mengenai usulan dari Pak Rudi tersebut.

Namun rasa penasaran terus membayangi Hakim, sepulangnya dari berolahraga, ia menuju warnet untuk sekedar iseng browsing mengenai dunia militer. Berkaca dari kesalahannya pada waktu itu, ia ingin mempunyai rencana cadangan seandainya ia tidak diterima lagi di universitas yang ia impikan. Ia tidak lagi idealis, ia bahkan menimbang-nimbang untuk mengikuti tes militer. Bahkan jadwal seleksi militer yang lebih dulu diselenggarakan dari pada seleksi universitas impiannya, membuat Hakim yakin untuk mengikuti tes militer.

Hakim kali ini lebih giat berlatih fisik, bahkan sepulang kerja ia masih menyempatkan untuk sekedar berlari di trek lari. Hakim tidak menceritakan keinginannya ini kepada orang tuanya, karena Hakim merasa tes ini hanyalah sekedar percobaannya saja dan Hakim tidak ingin memberikan harapan palsu lagi kepada orang tuanya.

Ketika seleksi militer diumumkan, Hakim tidak mengira ia lolos menjadi taruna militer. Kabar baik ini langsung ia sebar kepada keluarganya. Hasan dan Nurlidya seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lihat dari secarik kertas yang dibawa Hakim. Bahkan Hasan pun menangis haru melihat anaknya bisa menjadi seorang taruna militer.

Keesokan harinya, setelah perayaan kecil-kecilan Hasan, Nurlidya dan Hakim. Di dalam kamar, Hakim berpikir sejenak, kali ini ia dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu menjadi seorang tentara apa masih tetap mencoba seleksi universitas impiannya. Namun kebahagiaan yang terlihat dari wajah orang tuanya setelah perayaan tadi membuat Hakim memutuskan kalau dirinya siap untuk menjadi seorang tentara.

Hakim merasa menjadi penegak keadilan bukan menjadi seorang Hakim semata. Seorang tentara pun bisa menegakkan keadilan. Bahkan ia merasa mungkin inilah rencana Tuhan yang paling baik baginya. Hakim pun bahkan bisa membayar cibiran orang-orang sekitarnya dengan menjadi satu-satunya tentara yang berasal dari kampungnya tersebut.
Lihat selengkapnya