Sihir Marongge

Oleh: Vitri Dwi Mantik

Blurb

Di tengah-tengah antusiasme riset untuk tesisnya, seorang mahasiswa pascasarjana Ilmu Sejarah yang apatis terhadap kekuatan gaib karuhun Marongge, hampir kehilangan akal sehat dan nyawanya. Rupanya, mahasiswa adonis yang angkuh itu dipelet oleh gadis kampung yang tak menerima dirinya direndahkan, di saat yang sama dia juga disantet oleh pemuda kampung yang mencemburuinya. Untuk menjalani pemulihannya, dia harus kehilangan rekan peneliti yang berusaha memfokuskan risetnya, dan akhirnya mengakui bahwa keampuhan ilmu sihir di kampung itu tak lepas dari kesaktian para leluhur yang tengah ditelitinya.

Premis

Seorang mahasiswa yang melakukan riset di dusun Marongge

Karakter

Dua orang mahasiswa yang tengah menyelesaikan Program Magister Ilmu Sejarah dari Universitas Indonesia datang ke desa Marongge dengan tujuan riset. Keduanya memiliki kesimpulan yang sama dari sudut pandang yang berbeda tentang catatan sejarah Marongge, yang menyebut empat orang prajurit perempuan utusan Mataram dalam masa penaklukan Kerajaan Panjalu-Ciamis. Bahwa, mereka adalah Prajurit Estri Mangkunegaran yang membawa misi besar, yaitu menuntaskan perjuangan Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara. Pada dasarnya, mereka berbagi materi dan sama-sama belajar dari pemahaman satu sama lain. Akan tetapi, ketika mereka tiba di desa itu, adu pendapat terjadi dan menjadi pemicu kecelakaan kecil yang memaksa mereka untuk menempuh masa penelitian yang lebih panjang.
Elden Gunadi a.k.a El (25) yang menitikberatkan fakta sejarah untuk menopang tesis berjudul "Jejak-jejak Genealogis dan Historis Kerajaan Panjalu" tidak peduli pada kesaktian Nyimas Gabug dan ketiga saudara perempuannya. Ia lebih percaya bahwa mitos yang menyebut Cadas Meja itu adalah sebuah jejak yang merujuk pada kata medang atau madang, yang artinya makan. Ini sudah cukup membuktikan kebenaran asal muasal dan tujuan akhir dari karuhun Marongge itu, yaitu Kerajaan Madang; nama lain untuk Mataram Kuno, dan Sumedang.
Akan tetapi, Ajeng Saputri (24) yang menganalisis mitologi untuk tesis berjudul "Perkembangan Kepercayaan Masyarakat Sunda terhadap Sosok Mitologi Munding Wangi Pada Masa Kini" mencoba meyakinkan Elden bahwa ada makna tersembunyi di balik nama Latin buah kukuk, labu air yang dihanyutkan Nyimas Gabug ke hilir dan khasiat kilaja susu munding, buah sejenis duwet berwarna merah yang diilhamkan oleh Aji Putih Jaga Riksa kepada Setayu, Naibah dan Naidah untuk menyembuhkan penyakit gatal-gatal yang diderita Nyimas Gabug. Penyakit kulit ini sama dengan yang diderita oleh Puteri Kadita, puteri Raja Munding Wangi, oleh sihir ibu tirinya. Hanya saja, penyakit kulitnya itu disembuhkan oleh air laut Pantai Selatan, yang mana akhirnya sang putri lebih dikenal dengan julukan Nyi Roro Kidul.
Kepintaran kedua mahasiswa dalam kedua hal sejarah dan mitologi ini dipertunjukkan dalam perdebatan yang lebih seru lagi di tempat yang sama, yaitu Warung Nasi milik Ma Asah (47), dan membuat Kalila Anggraini a.k.a Lila putrinya semakin jatuh hati pada mahasiswa berwajah Arjuna itu. Ajeng mengingatkan Elden, agar fokus risetnya tidak beralih ke payudara putih anak si pemilik warung, tapi dibantah Elden dengan suara yang bisa didengar oleh Lila sendiri, bahwa dia tidak punya chemistry apa-apa dengan "cewek udik" itu.
Merasa harga dirinya direndahkan, Lila memutuskan untuk memelet Elden. Tak puas dengan reaksi Elden, ia meminta Ki Wirasa (75) untuk membuatkan ajian yang lebih ampuh lagi. Selama tiga hari, Lila menghilang untuk menekuni tahapan yang harus dilaluinya. Ketika kembali, Elden seperti tersirep oleh aura kecantikan Lila, sikapnya berubah manis dan mesra pada Lila. Kedekatan mereka itu menyiksa Renggana (24), ponggawa desa Marongge yang sudah terang-terangan menunjukkan isi hatinya pada Lila sejak masa sekolah. Ia membawa binatang-binatang mengerikan ke rumah Ki Sukma Siksa a.k.a Ki Siksuk (65) untuk menyantet Elden dan mengusir Ajeng.
Esoknya, Ajeng pergi sendiri menelitik Cadas Meja karena Elden terkena disentri. Lila datang membawa buah pinang dan sirih pinang, makanan khas Marongge. Cumbu rayu terjadi, diselipi candaan, dan diakhiri dengan sanggahan. Kecewa dengan kejujuran Elden tentang sikap Ibunya akan pernikahan antara orang Jawa dan orang Sunda, Lila pergi dengan airmata, meninggalkan Elden yang ambruk ke lantai sambil memegang dada. Ajeng menemukan Elden dalam keadaan memar-memar. Ketika ditanya siapa yang menghabisinya, Elden memukul-mukul dadanya dan menggaruk-garuk tubuhnya sendiri sambil bersumpah serapah seperti orang kesurupan.
Kyai Mahfudz (75), ahli ruqyah didatangkan oleh Pak Narsim (66), kuncen makam Marongge, pemilik B&B, untuk mengusir makhluk pengganggu Elden. Ribuan belatung keluar dari mulut Elden dan belasan ketonggeng keluar dari perutnya yang meletus oleh cairan cuka binatang itu. Belatung itu masih terus berkembang biak dalam tubuh Elden dan mencoba keluar dengan cara yang mengerikan. Kyai Mahfudz mengatakan bahwa Elden terkena santet baraja, yaitu muntah darah, dan kesrek, yaitu gatal-gatal seluruh tubuh. Akan tetapi, Kyai Mahfudz tidak pernah melihat santet sekeji ini, dengan media belatung dan ketonggeng.
Ajeng nyaris kabur, tapi dia menemukan sirih pinang di meja. Herba yang biasa direbus untuk mencuci darah dan membersihkan rahim wanita itu segera dikunyahnya, lalu dibalurkan ke perut Elden. Ia meminta Narsim untuk pergi mencari daun sirih lebih banyak lagi, dan pergi ke rumah Ma Asah, lalu membuat air rebusan daun tersebut untuk diminum Elden. Nyawa Elden terselamatkan, tapi tangannya masih menggaruk-garuk sekujur tubuhnya sepanjang malam, hingga badannya yang borok-borok itu makin mengerikan dengan luka-luka merah berair.
Hari selanjutnya, cerita santet itu tersebar dari warung Ma Asah. Renggana puas melihat kesedihan di wajah Lila. Dia mengutip Ayat Al-Qur"an, "tidaklah manusia diberi ilmu tentang ruh, kecuali sedikit." Kutipan itu dimaksudkan untuk mengolok-olok Elden. Tapi, terdengar lain di telinga Lila. Lila pergi untuk mencabut ilmu pelet yang dimilikinya. Ia meminum ramuan daun bidara Arab ramuan Ki Wirasa, seketika aura Lila lenyap. Ia pulang dengan wajah pucat, menemukan Ajeng di pekarangan rumah. Ajeng mengajaknya mencari ranting dan buah kilaja susu munding untuk mengobati borok-borok dan gatal-gatal yang diderita Elden. Mereka tidak melihat bayangan Renggana menyelinap di balik pohon.
Ajeng dan Lila mendaki ke puncak Gunung Hade. Tiba di Petilasan Aji Putih Jaga Riksa, Ajeng ditikam dengan belati oleh Renggana. Aji Putih Jaga Riksa muncul, menjemput ruh Ajeng, lalu tiga orang Riksa lainnya mengerahkan lima ekor lutung untuk membela Ajeng. Renggana diserbu lutung-lutung itu dan digulingkan ke dalam ngarai hingga pemuda yang gelap mata itu meregang nyawa. Dari ilafat Aji Putih Jaga Riksa yang didengarnya secara gaib, Ajeng terseok-seok menuju ke arah barat laut gunung dan tiba di tempat pohon ajaib itu. Seekor lutung menyerahkan keranjang yang dijatuhkan Lila di tepian ngarai. Akhirnya, Lila memetik ranting dan buah itu dan membawa sekeranjang penuh pulang untuk mengobati Elden.
Borok-borok Elden dengan ajaib mengering setelah bibirnya diolesi getah kilaja susu munding dan meminum jus buahnya. Mayat Ajeng dikuburkan di daerah Petilasan Aji Putih Jaga Riksa. Elden dijemput orangtuanya, tapi ketika duduk di mobil, ia membaca note Ajeng yang dibuat saat riset ke Cadas Meja. Di note berwarna kuning itu tertulis, "Mitos Munding Wangi adalah bukti dari Ayat Injil tentang kebangkitan kembali Ratu Seba yang berjuluk Ratu Selatan. Matius 12:42: Ratu Selatan akan bangkit pada saat penghakiman bersama generasi ini, dan akan menghukumnya: karena dia datang dari ujung bumi untuk mendengarkan hikmat Salomo; dan lihatlah, ada yang lebih besar daripada Salomo di sini." Saat itu, Elden mengakui kebenaran ucapan Ajeng tentang kekuatan leluhur yang menjadi menjadi sumber keajaiban di kampung ini. Ia juga menyadari, masih ada yang harus diselesaikannya dari temuan-temuan Ajeng itu. Ia pun memutuskan untuk tetap tinggal bersama Lila.
Lihat selengkapnya