Blurb
Putra tak pernah tahu siapakah dirinya. Lahir dari sepasang pribumi, tetapi dibesarkan oleh seorang Belanda. Hidupnya dipenuhi kebimbangan, kepada siapakah dia harus berpihak. Bahkan, di hidupnya, dia bertemu dengan orang-orang tak kalah aneh yang membuatnya kian bimbang.
Ada Edie, seorang pribumi, mantan petinggi termuda KNIL, yang tukang berkhianat. Ada pula Hanako, putri dari brigjen Tentara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang dibesarkan di kehidupan militer dan tumbuh menjadi seorang algojo di usia begitu belia.
Anehnya, Edie yang terlihat paling munafik itu justru yang terus menceramahinya seperti seorang kakak yang suka jahil kepada adiknya, tentang pentingnya berpihak di tengah-tengah kehidupan peperangan.
Apakah Putra berhasil melihat apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya? Tentang siapakah yang ingin dia bela, serta siapa yang perlu dilawan dengan seluruh keringat dan darah?
Kisah ini diadaptasi dari kisah nyata di sekitar Pabrik Gula PNP XIX di Purwoasri, Kediri.
Fiksi ini mulanya ditulis sebagai naskah drama sederhana, itulah mengapa di dalam kisahnya jarang ada perubahan latar tempat dan waktu.
Premis
Putra, seorang pribumi yang dibesarkan Belanda, mengalami kebimbangan untuk berpihak. Edie pelan-pelan mengajarinya untuk terjun ke dalam perang dan berpihak ke satu sisi atau kabur sekalian. Perlahan, Putra belajar untuk yakin dan membela tanah airnya, apa yang memang ingin dia bela. Namun, di akhir, untuk membuktikan hal itu, dia harus menghabisi ayah angkatnya yang menjadi pemimpin pasukan Belanda.
Karakter
Putra dipenuhi kebimbangan akan siapakah dirinya. Dia lahir dari sepasang pribumi, tetapi dibesarkan oleh seorang Belanda. Dia tak tahu harus berpihak kepada siapa di tengah kehidupan peperangan saat ini.
Selama Putra masih dipenuhi kebimbangan, keadaan di sekitar Purwoasri justru makin memburuk, semenjak kedatangan Nippon. Nippon yang berjanji akan menguasai Purwoasri selama 3,5 tahun sebagai balasan karena telah mengusir Belanda, nyatanya tidak pergi setelah durasi yang dijanjikan.
Edie, seseorang yang dahulu kata Letkol de Capellen hanyalah seorang pengkhianat yang sulit ditebak isi pikirannya, mendorong Putra untuk membuat keputusan tegas saat ini juga. Berpihak kepada tanah air untuk melawan Nippon atau kabur tanpa peduli kericuhan peperangan ini layaknya anak kecil ketakutan.
Puta mencoba mengumpulkan keberanian, dia bahkan berhasil membuat pemuda-pemuda lain yakin untuk bergabung dengan mereka, membentuk sebuah pasukan bernama Tentara Sukarela. Namun, sebelum pertempuran benar-benar dimulai, Edie memintanya untuk mundur karena menganggap Putra belum benar-benar siap.
Di hari itu, Edie dan Tentara Sukarela berhasil mendorong Nippon mundur sehingga pergi dari Purwoasri. Selang beberapa bulan kemudian, datang kotak-kotak besar yang tak jelas apa ini dan siapa yang mengirim, di depan setiap toko yang ada di Purwoasri.
Berkat informasi dari Hanako dan pengalaman Edie ketika masih berada di KNIL dulu, mereka berhasil mengetahui apa di balik kotak tersebut. Isi kotak tersebut adalah para pasukan Londo Ambon yang dikirim oleh Belanda sebagai respons atas fitnah Nippon bahwa Belanda-Belanda di Purwoasri dijadikan budak. Mereka diperintahkan untuk keluar pukul satu malam.
Namun, sebelum pukul satu malam, Edie menusuk salah satu kotak. Setelah memastikan bahwa isinya memang benar pasukan Londo Ambon, Edie memerintah pemuda untuk membakar kotak-kotak yang lain. Namun, beberapa Londo Ambon masih sempat keluar dari kotak sehingga peperangan pecah kembali.
Keadaan makin mendesak saat Edie ditodong senapan oleh seorang tentara Londo Ambon sehingga hanya tersisa Putra dan seorang pimpinan Londo Ambon yang ternyata adalah ayahnya. Demi keputusan yang telah dia ambil, dia memperjuangkan tanah ini dengan kemerdekaan, dengan cara mengalahkan pimpinan Londo Ambon, yaitu menembak mati ayah angkatnya sendiri.
Di saat yang lain berteriak merdeka, Putra menangisi ayah angkatnya, atas kepergiannya, juga jasanya yang telah membuat Putra tumbuh menjadi seorang putra tanah air ini.