Trauma Generasi

Oleh: Vitri Dwi Mantik

Blurb

Dalam krisis rumah tangga yang hampir mendorongnya pada keputusan suicidal, seorang wanita dihadapkan pada sejarah keluarganya yang dramatis dan menguak tabir di balik reruntuhan rumah sandiwara yang dihibahkan seorang kerabat penting keluarga padanya. Tak hanya menimbulkan rasa iri, hibah warisan ini dianggap sebagai sumber petaka keluarga yang harus dimusnahkan. Dibantu oleh mantan kekasihnya, ia menyelamatkan nyawanya dan menghentikan siklus trauma generasi agar tidak menimpa anak-anaknya.

Premis

Seorang wanita yang mendapat warisan tak disangka-sangka menemukan bahwa bahkan tekanan batinnya pun merupakan trauma yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Karakter

Kehidupan Asmara Diva a.k.a Mara seperti panggung sandiwara, penuh kepalsuan. Rumah tangganya dengan Aksa Sentosa berada di bawah bayang-bayang kesuksesan mertuanya. Mara yang buruk dalam bermain drama, tidak bisa menyembunyikan tekanan batin yang menderanya. Ia seperti gerhana bulan, seakan bayangan umbra bumi jatuh menutupi dirinya. Jiwanya begitu hampa, hingga tamparan angin di kaca jendela kamar malam itu menggerakkan hatinya untuk mengambil resiko fatal. Tapi, Tuhan mengirimkan malaikat lain untuknya. Rehan Nureddin, mantan kekasih yang menjabat sebagai notaris mengirim pesan bahwa Mara mendapatkan sebuah hibah wasiat dari seorang ningrat bernama Kanya Qomariah, yang hanya sedikit saja pernah didengarnya.
Senyuman penuh makna Rehan saat bertemu Mara membuat semburat di wajah Mara yang pucat dan suram dan mengisi hatinya yang kosong. Aksa mencium gelagat tidak beres dari wajah Mara yang tidak-tiba jadi glowing malam itu. Di saat yang sama ia mengingat nama Rehan, Aksa langsung yakin apa alasan Mara yang sebenarnya ketika memilih nama Rhian dan Rhein untuk anak-anak mereka. Menyadari Mara masih menyimpan hati untuk mantan kekasihnya, Aksa menunjuk pintu keluar rumah untuk Mara. Mara mengambil kesempatan itu untuk pergi ke Indramayu mengurus hibah warisan yang didapatkannya. Ditemani Citra Ayuditha, novelis berbakat yang bisa meramal, Mara menengok tanah hibah tersebut.
Setibanya mereka di Kota Mangga, Mara harus memecahkan teka-teki dari pesan yang seolah-olah khusus ditujukan padanya dalam surat wasiat. "Temukan akyan sabit dari rumah sandiwara ini, untuk menyinari rumah tanggamu sendiri." Kedatangan mereka berdua di rumah Sholeh Natadikusumah yang baru pulang dari ibadah Umrah disambut dengan buah mangga khas Indramayu dan air zamzam. Dengan dibantu kemampuan analogi Citra, Mara berusaha memahami uraian kalimat yang dijelaskan oleh Sholeh. Kalimat itu menggambarkan tujuan luhur didirikannya rumah sandiwara Wulan Sari oleh Samir Natadikusumah, seorang ningrat dengan trah Kerajaan Talaga Manggung. Dan bagaimana pergulatannya dengan bakat hebat Wiralaga, kakek Mara dengan trah Kerajaan Manukrawa. Sholeh membekali Mara dan Citra buah mangga dan air zamzam. Tapi, saat mereka keluar dari rumah Sholeh, tasnya dirampas oleh seseorang yang mengendarai sepeda motor.
Untuk memastikan trah Wiralaga dari Kerajaan Manukrawa, Mara membawa Citra pergi menemui Mang Pawon, yang seluruh keluarganya mengepulkan asap dapur dari bermain di panggung sandiwara Lingga Buana. Mang Pawon yang sedang mempersiapkan diri untuk mementaskan cerita berjudul "Dewi Ratih" di acara selamatan keluarga besar di kampung itu, membenarkan hal yang dipertanyakan Mara. Ia bahkan mengatakan bahwa Wiralaga diwarisi keris Wiralodra, spionase dari Kerajaan Demak. Sebuah kecelakaan aneh terjadi, membakar di belakang panggung. Apinya hampir melahap panggung pentas. Mang Pawon mengkensel pementasannya untuk mematikan api tersebut.
Mara kemudian pergi bersama Citra melihat kondisi tanah hibah. Ketika Citra menangkap ke arah orb yang berkelip di belakang Mara, Mara menoleh ke arah yang ditunjuk Citra. Ia jatuh keseleo, dan pingsan. Ketika siuman, Mara tiba-tiba mengaku bahwa ia baru sadar, bahwa Samiri dan Samara itu berkaitan satu sama lain. Tapi, dia tidak mengerti, apa hubungannya kedua kata itu dengan Asmara, namanya. Samiri adalah ungkapan dalam Al-Qur"an untuk menunjuk umat pembangkang Nabi Musa yang berusaha menciptakan sapi emas dan mencoba menyesatkan manusia. Sedangkan Samara adalah negeri di mana nabi palsu muncul dan dibunuh. Citra lalu mengatakan bahwa sebenarnya nama Semar diambil dari nama Samara, julukan untuk Dewi Ratih. Dan Kuwera, salah satu putra Semar, adalah Kala Rau yang hendak melahap Dewi Ratih. Bahkan, ada pula wayang Semar yang tubuhnya berwarna emas. Ini merupakan simbol keberanian Semar dalam hal menegakkan kebenaran dan melakukan kebaikan.
Saat itu, mereka tidak menyadari kehadiran Cameron Pramana a.k.a Meron, keponakannya yang diutus oleh Warnaya. Warnaya muncul, dengan santai menodong Mara dan Citra, memakan buah mangga dan meminum air zamzam yang dihadiahkan Sholeh pada Mara dan Citra.
Kecemburuan Warnaya terhadap Wardana, ayah Mara diungkap oleh Warnaya sendiri dengan cerita yang melengkapi sejarah keluarga Wiralaga. Bahwa, selain 3 (tiga), masih ada seorang putra Wiralaga bernama Wiswara, yang terbunuh oleh sebab ramalan leluhur. Ramalan ini dilihat dari penamaan 4 (empat) generasi Kerajaan Demak, yaitu Raden Fatah, Pati Unus, Trenggana, Sunan Prawoto alias Raden Mukmin. Warnaya menunjukkan bahwa nama Pati Unus yang artinya Setengah Mati, adalah sebenarnya untuk menunjuk Wiswara, putra ke-2 Wiralaga yang dibunuh oleh Ki Akut keturunan Wiralodra. Akan tetapi dalam sejarah Demak, adalah Sunan Prawoto generasi ke-4 yang dibunuh Arya Penangsang. Warnaya lalu menunjukkan penamaan anak-anak Semar, yang sebenarnya ada 4 (empat), tapi yang dihidupkan selalu 3 (tiga), dan alasan kenapa hanya 1 (satu) saja yang diangkat dalam cerita di Jawa Timur. Bahwa 1 (satu) anak itu untuk menunjuk Kuwera yang dibesarkan oleh Batara Ismaya.
Warnaya menyerahkan keris Wiralodra pada Meron agar menyayat leher Mara. Warnaya juga memerintahkan agar setelahnya, Meron pergi menghabis kedua anak Mara. Mara memohon nyawa anak-anaknya diampuni atas kesalahan yang tidak dimengertinya. Rehan muncul merebut keris itu dan menggunakannya untuk membunuh Meron, Mara selamat bersembunyi di belakang punggung Rehan. Warnaya menunjuk Rehan sambil berkata, bahwa dia tidak pernah melihat penerangan sejernih saat ini. Warnaya lalu menunjuk Rehan sebagai Arya Penangsang yang membunuh Sunan Prawoto, generasi ke-4 Demak, yang ditebus oleh putra kedua Wiralaga. Tapi, Mara tahu maksud Warnaya sebenarnya adalah menunjuk bahwa dialah Kuwera yang dijadikan Bagong. Padahal, sebenarnya, dia adalah Kala Rau, yang hendak menelan Dewi Ratih.
Marah karena kedoknya terbuka, Waryana menembakkan pelurunya ke dada Rehan dan Mara. Rehan berkelahi dengan Waryana, yang lagi-lagi menembakkan pistol ke pundaknya. Rehan menusukkan keris itu ke leher Waryana, tapi anehnya Waryana tidak mati. Menurut Mara, itu karena Kala Rau meneguk Tirta Amerta, yang adalah air zamzam yang dibawa pulang dari Umrah oleh Sholeh. Di saat itu, Aksa muncul menyandera Citra, meminta Rehan agar menyerahkan Mara. Mara dengan pasrah menukar hidupnya kembali dengan Citra. Sementara Rehan disandera oleh Waryana.
Pak Sholeh muncul bersama beberapa perwira Polri. Mang Pawon menyerahkan video dari kejadian yang direkamnya kepada Polri. Warnaya dan Aksa digiring ke penjara.
Lihat selengkapnya