Aku adalah gadis kelas 2 SMA yang bisa dikatakan sedang kasmaran, ada seseorang yang berhasil membuat duniaku berantakan. Sebenarnya orang itu ada di kelas sebelah, herannya kami tak pernah bertemu saat masih kelas 1 dulu. Eh atau aku saja yang kudet ya, entahlah yang jelas si virus merah jambu ini sedang gencar menginvasi dunia kelabuku.
Selama beberapa bulan terakhir jendela di samping kananku telah menjelma jadi markas pribadi, kenapa? Sebab dari sinilah aku biasa melihatnya. Iya dia, Elio Pradipta. Sungguh kata indah tak lagi bisa mendefinisikan lelaki itu, ia terlalu gemerlap untukku yang pudar. Percis seperti arti dari namanya, Matahari. Orang tuanya sungguh pandai menamai si tampan, matahariku yang menawan.
Eh tunggu, aku tidak bisa menyatakan Elio sebagai milikku, apa-apaan aku ini. Sesaat kemudian lantas memukul pelan kepala yang telah ngawur mengutarakan kalimat tersebut, benar-benar deh bagaimana bisa orang yang bahkan tak pernah tahu keberadaanku dikatakan sebagai hak milik.
Entah aku harus menyesal atau bersyukur karena dipertemukan dengan Elio, tapi sepertinya mari pilih bersyukur saja, toh tak banyak orang sememikat dia yang bisa menarik perhatianku begini. Setelahnya aku kembali asik untuk memperhatikan Elio yang sedang serius membaca sebuah buku.
“Hei anak muda, berhenti melihat ke sana. Kau membuat bekalmu cemburu.” Sahut seseorang yang berhasil membuatku menapaki bumi lagi, aku langsung mengalihkan pandangan pada orang yang duduk di depan.
“Zar kayaknya aku beneran suka deh sama Elio, duh bagaimana dong. Sainganku bisa dikatakan satu sekolahan.” Kataku pada Zara, alih-alih menanggapi perkataan dirinya tadi, aku malah mengatakan hal lain.
“Huh, Ankaa pernyataan sukamu pada si Elio itu sudah kau nyatakan lebih dari ratusan kali. Dengar kawan, seperti yang kau tahu jika sainganmu hampir semua gadis di sekolah kita. Kau lihat jika setiap hari ada saja yang memberinya hadiah atau bahkan mengajaknya berkencan, lalu lihat apa yang sudah kau lakukan? Duduk diam di kelas sambil melihat sang pujaan melalui jendela, wow sungguh hebat Ankaa Gavensha.” Sarkas gadis tembam itu padaku, aku kemudian berdecak. Tak bisa menyangkal sebab apa yang dikatakannya memang tepat sasaran.
Sesaat sebelum aku sempat memulai sesi perdebatan, Z...