Plak!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi sebelah kananku.
"Jadi istri gak becus ngurusin suami! Gimana mau punya anak?" hardik Mas Gilang, yang ternyata seorang tempramen.
"Maaf mas, aku gak sengaja," jawabku pelan, sambil kupegang pipi bekas tamparan suamiku yang masih terasa perih.
Entah sudah ke berapa kalinya Mas Gilang mendaratkan tangannya di kedua pipiku.
Sebagai istri aku selalu menutupi kehidupan toxic rumah tanggaku, karena takut membuat orang tuaku kecewa atau mungkin mereka tidak akan percaya. Dimata mereka, mas Gilang adalah menantu yang sempurna yang selalu di bangga-banggakan karena kemapanannya. Setahun sudah pernikahan ini terjadi. Bagaikan burung di dalam sangkar, kehidupanku selalu di atur olehnya tanpa adanya sebuah perlawanan karena ketakutan yang selalu menghantuiku; setiap satu kata perlawanan, tak segan pula sebuah tamparan akan aku dapatkannya.
Terkadang otakku mengajak untuk bercanda dengan sebuah kematian yang konyol. Saat aku melihat sebuah gunting yang tergantung di paku, pikiranku mulai kacau. Segera kuambil gunting, mataku terus menatap ke ujungnya yang tajam dan lancip. Ingin rasanya kumati, menancapkan dengan keras gunting ini ke perutku. Tapi aku segera kembali tersadar, mati bukanlah sebuah pilihan.
Segera kugunting dengan penuh rasa ...