DI halaman bioskop kecil di kota kecil kami dulu ada seorang pemain sulap. Ia masih muda. Ia mendapat uang dari pemberian sukarela penonton yang menunggu masuk menonton film, atau warga kota yang sekadar jalan main dan cari makan ke sana. Bioskop itu ada di kawasan yang menjadi pusat keramaian kota. Ada taman bermain di sana yang sewaktu-waktu jadi tempat pasar malam, warung-warung makan, dan beberapa toko. Bahwa si pemain sulap itu sudah bertahun-tahun bertahan, itu mungkin menunjukkan bahwa penghasilannya lumayan.
Ia menyebut dirinya Balentong. Tak ada yang tahu siapa namanya yang sebenarnya. “Bawa kantong isinya lalap, namaku Balentong, si tukang sulap.” Itulah pantun yang selalu kuingat. Mungkin semua penduduk kota kecil kami juga hapal pantun parikan itu. Nama Balentong bahkan kemudian menjadi identik d...