Hujan turun pelan, seperti doa-doa yang tak pernah selesai dibisikkan langit. Di antara gemuruh mendung dan desir angin, di sanalah aku pertama kali melihatnya — seorang perempuan yang duduk di sudut perpustakaan tua, mengenakan sweater lusuh dan earphone di telinga, seolah dunia ini hanya milik dia dan sunyi yang dipeliharanya.
Namanya Lira. Seperti nama lagu yang tidak pernah selesai, nadanya menggantung di ujung harapan. Matanya teduh, suaran...