Afia Rahmawati menatap gemerlap Jakarta dengan perasaan yang bercampur aduk. Kota ini tidak seperti yang ia bayangkan. Hiruk-pikuk kendaraan, gedung-gedung tinggi, dan orang-orang yang berlalu lalang dengan wajah penuh kesibukan membuatnya merasa kecil dan tak berdaya. Tas punggung usangnya hanya berisi pakaian seadanya, hasil peninggalan almarhum ibunya. Kini, ia sendiri, mencari ayah yang bahkan wajahnya samar dalam ingatan.
“Maaf, Bu. Afia berangkat dulu,” bisik Afia waktu itu di depan makam ibunya, dengan suara serak menahan tangis. “Doakan Afia ketemu Bapak.”
Namun Jakarta tak seindah mimpi-mimpinya. Hari-hari pertama ia tidur di trotoar, berteman dingin malam dan perut yang terus lapar. Uang hasil menjual cincin ibunya cepat habis. Tak ada kenalan, tak ada bantuan. Dalam putus asa, Afia memutuskan menjadi pengamen.
Setiap sore, ia menggendong gitar kecil dan berdiri di lampu merah. Suaranya yang merdu, berirama dangdut khas, sering menarik perhatian para pengendara. ...