Aku hanya diam menatap adikku yang sedari tadi menangis.
“Pokoknya abang tetap tak mengizinkan adik bertemu dengan dia!”
Adikku sesenggukan. “Tapi dia ibu kita.” Kata adikku sambil sesekali menahan isak. “Biar bagaimanapun buruknya, dia tetap ibu kandung kita. Wanita yang melahirkan kita.”
Aku mendengus. Satu-satunya kenyataan yang tak bisa kuingkari tentang wanita itu adalah aku terlahir dari rahimnya. Tapi perjuangannya selama Sembilan bulan mempertahankanku didalam kandungannya, perjuangannya saat melahirkanku dengan taruhan nyawa seakan tak ada artinya untuk dia. Begitu mudahnya dia meninggalkanku, meninggalkan ayah, meninggalkan adikku yang saat itu masih sangat kecil demi lelaki lain yang dia ...