Mentari masih malu-malu menampakkan dirinya. Hanya cahaya jingga yang ia tebarkan, menembus celah-celah dinding rumah. Ada perasaan lain yang enggan beranjak dari hatiku. Sakit, sakit tak tertahankan. Aminah kembali menari-nari di pelupuk mata. Dia paling senang dengan suasana pagi yang seperti ini.
Buru-buru aku keluar kamar, mengambil Cangkul. Lalu, beranjak meninggalkan rumah.
Ibu mengejarku dari belakang, “Nak, sarapan dulu! Kalau kau seperti ini terus,...