Calon mempelaiku meninggal kemarin sore.
Ditembak tentara Belanda dari belakang dalam Pertempuran Empat Hari Kota Solo, Agustus 49.
Kata anak buahnya, dua butir peluru tepat menembus bilik jantung perwira berusia seperempat abad itu.
Lalu, apa yang harus kuperbuat?
Menanggalkan kebaya putih yang terlanjur kukenakan pagi ini?
Kemudian, menggantinya dengan baju serba hitam yang mencerminkan duka?Mestinya begitu.
“Nu .... ansa ...., wis rampung, Cah ayu….? Sedelok maneh .... sedelok maneh ibu arep ngu .... ngubur .... Wisnuuu ....” isak tangis calon ibu mertuaku di balik pintu kamar. Sejak kemarin sore, selamanya, wanita dari golongan priai itu akan terus menjadi 'calon' ibu mertuaku.
Menyedihkan memang.
Kalau bisa memilih, aku ingin duduk di depan cermin meja riasku saja. Aku bisa menyisir rambut cokelatku yang panjang, merapikan bentuk alis, atau memoles wajahku agar jauh dari duka. Habis, ikut ke makam dan menyaksikan jenazah calon mempelaiku bisa membuatku gila.
"Ojo suwi-suwi olehe dandan .... Sopo seng arep nyawang koe? Wisnu wis mati, Cah ayu ...."***
Kapten Wisnu Soeha...