Hari Batih Hani

Oleh: Melyuchan

Berjalan tanpa arah. Seperti itu kehidupan yang aku jalani selama ini. Apa yang aku inginkan tidak akan pernah aku capai walau sampai aku mati. Keinginan untuk dapat merasakan kehangatan pelukan sebuah keluarga, hanyalah mimpi semata. 

Aku terduduk di sudut ruangan, tak dapat bersuara. Hanya isak sisa tangis yang mengiringi kesedihanku kala itu. Begitu banyak penderitaan yang harus aku terima sejak aku masih kecil, bahkan saat aku masih dalam kandungan. Namun otak ini seakan tak mampu berpikir lagi saat Ibu Wiwik menunjukkan siapa diriku ini sebenarnya, saat Ibu menunjukkan apa artinya aku ini di dalam keluarganya. Kebenaran yang membuatku merasa tak lagi hidup.

Bahkan aku tak dapat lagi merasakan perihnya lebam-lebam biru dan lebam yang mewarnai di hampir seluruh bagian tubuhku. Sebuah bentuk pelampiasan emosi yang harus aku terima di setiap hariku itu tak berarti saat Ibu melontarkan pernyataan bahwa aku bukanlah anak kandungnya, dan itu menjadi hal yang paling menyakitkan untuk kuterima dari sepanjang hidupku.

Di pojok kamar bagian belakang rumah, aku terdiam seperti orang hilang akal, menjadi lemah dan linglung. Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku ini anak siapa? Kalimat itulah yang terus memutari otakku. Aku berusaha mencerna, tetapi semakin aku mencoba, hal itu malah membuatku semakin hancur.

*****

Tantri, ibu kandungku.

Ayah membawanya ke Samarinda untuk bertemu dengan seorang wanita, saat aku berusia delapan bulan dalam kandungannya. Entah apa tujuan Ayah mempertemukan kedua wanita itu, Ibu Tantri belum menyadarinya. Namun ketika Ibu kembali ke Gresik—tempat tinggalnya selama berumah tangga bersama Ayah Rozi, saat itu penyakit aneh mendadak menyerangnya. Ibu tiba-tiba merasakan sesak di dada. Ia kesulitan bernapas dan mengatakan seolah-olah ada ular yang menjerat lehernya. Itu sangat aneh, begitu misterius. Hasil yang ditunjukkan dari pemeriksaan medis pun tak dapat memberikan kejelasan. Gejala yang dialami ibuku sungguh tidak wajar, dan itu kerap kali mendera.

Ibu akhirnya melahirkanku di salah satu rumah sakit di Gresik pada tahun 1995. Namun penyakit aneh yang dirasakan sejak kepulangannya dari Samarinda, terus saja menyerangnya. Ayah terpaksa membawa Ibu—yang sudah tidak memiliki orang tua ataupun keluarga—pulang karena selain sudah merasa tidak tahan lagi dengan apa yang dideritanya saat itu, suaminya itu pun menyerah dalam hal finansial. Keterbatasan dana membuat Ayah memutuskan untuk merawat Ibu di rumah saja.

Yang sampai saat ini tidak pernah aku mengerti, tidak juga menemukan alasan, ketika aku mulai mampu berpikir dan hati ini pun mempertanyakan ... mengapa mereka tega meninggalkan bayi perempuan yang baru saja dilahirkan Ibu Tantri itu sendirian di rumah sakit? Hingga beberapa hari ... dua minggu ... satu bulan ... penyakit misterius itu akhirnya merenggut nyawa wanita 37 tahun tersebut.

Semua menjadi semakin jelas ketika empat puluh hari setelah kepergian Ibu Tantri, ayahku menikahi wanita itu. Wanita yang pernah dikenalkannya pada ibuku di Samarinda. Ayah pergi bersama wanita itu dan anak-anak dari si janda itu tanpa membawa anak kandungnya sendiri, tanpa membawa satu pun anak kandungnya dari Ibu Tantri yang telah memberinya empat orang anak.

"Sul, aku minta tolong padamu. Tolong ambil anakku dari rumah sakit dan bawa dia pulang bersamamu. Dalam waktu dekat, aku akan mengambil dan membawanya bersamaku."

Begitu ayahku, Ayah Rozi meminta Paman Samsul yang tidak lain adalah sepupunya, untuk mengambil aku yang masih bayi, yang masih dibiarkan berada di rumah sakit tanpa seorang keluarga, lewat telepon.

Saat itu terjadi, Rio si kakak pertamaku usianya masih lima belas tahun. Ketika bertumbuh dewasa di usia 30 tahun, dia menceritakan apa yang terjadi padaku yang sudah menginjak usia 15 tahun. Kala itu adalah kali pertamanya Kak Rio datang menjengukku di rumah Paman Samsul, setelah merantau di Surabaya dan memiliki keluarga baru di sana.

Lalu, di mana anak-anak Ayah Rozi yang lainnya? Ke mana kakak-kakakku tinggal setelah kepergian Ayah? Aku bertanya-tanya saat kak Rio sampai pada cerita itu.

Ayah telah menelantarkan keempat anaknya, jawab Kakak...

Baca selengkapnya →