Setelah memakamkan puteri semata wayangya, Pak Pinus berjalan pulang dengan mengemban air matanya sendiri. Payung di tangan kanannya diam seribu bahasa, hujan di sebelahnya deras tanpa suara, waktu terasa padam meninggalkan warna tanah yang lembap, angin tak kedengaran lagi, dingin tak tercatat pada termometer. Tetes hujan jatuh menghunjam jalan, diam-diam menghapus jejak, menghanyutkan kenang-kenangan, tapi tidak dengan kesendiriannya. Pak Pinus...