Angannya melangit, melebihi pandangan nanar yang bahkan tak mampu menembus eternit. Sore itu mendung menggelantung. Langit seperti menyerah memangku sang jabang hujan yang masih enggan menyiram bumi. Pekatnya tak memberi celah setitik pun pada sisa cahaya surya yang tertinggal.
Dinginnya angin mulai menggigit setajam taring setan bengis. Tidak ada kesan damai yang muncul di sejauh mata memandang. Sepertinya semua mikroorganisme tanah pun tengah mempersiapkan perapian karena hawa beku yang semakin menyergap. Kaku. Beku. Dingin. Sedingin hati Idjah yang kini tengah lunglai di pembaringan.
Andai setitik gerimis bisa jatuh, sekadar untuk membasahi ubun-ubunnya yang semakin cekung. Banyak hal yang ia pikirkan, hingga menyedot semua energi sampai daging-daging di kepalanya. Idjah tengah kalut. Anak sulungnya ia tinggalkan di sekolah. Anak keduanya terbaring sakit, tanpa tahu ke mana ibunya dibawa pergi oleh serombongan orang berompi hitam. Atas nama negara, mereka juga memaksa Idjah meninggalkan anak bungsunya yang belum genap empat puluh hari.
Si bungsu terlahir di tangan pisau bedah karena ketakutan keluarga melihat Idjah yang semakin gelisah dalam hamil tuanya. Belum reda bengkak di payudara karena air susu...