Isi Dalam Kemasan yang Berkurang Satu

Oleh: Marino Gustomo

JERITAN Ibu membangunkanku. Ketika mataku membuka sepenuhnya, teriakan histeris Ibu semakin jelas. Besar niatku untuk bergegas bangkit dan menghampirinya, tetapi kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Tubuhku tak bisa langsung bergerak sesuai perintah. Terdengar beberapa orang laki-laki menuntut masuk ke dalam rumah untuk mencari kamarku, seolah ruang pribadiku adalah hak publik yang boleh diakses siapa saja. Tatapanku beralih ke arah jam dinding, masih pukul setengah enam pagi.

Siapa yang mengusikku pagi-pagi buta begini?

“Kau yang bernama Shabit?” seorang laki-laki bertanya ketika membuka pintu kamarku.

Mataku mengerjap. Anggukan yang kuajukan terasa seperti gerakan boneka yang ditarik talinya. Di balik bahu kerumunan lelaki yang kini mulai memenuhi kamarku, kulihat wajah Ibu. Rautnya menyiratkan rasa panik yang luar biasa. Jadi sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak melakukan gerakan gegabah yang mungkin akan membuat Ibu celaka.

Seharusnya, Sabtu menjadi hari tanpa rutinitas yang penuh ketenangan dan memberi hak penuh untuk bermalas-malasan bagi pekerja kantoran biasa sepertiku. Namun hak itu dirampas wajah-wajah asing ini, dengan mata yang memindai ruangan seolah sedang menginspeksi tempat kejadian perkara. Pandanganku menyusuri wajah mereka satu per satu. Aku tidak tahu siapa dan mengapa sekelompok orang tak dikenal ini berada di dalam kamarku.

Dua puluh lima tahun hidupku berlangsung. Sebuah perjalanan teratur, lurus, tanpa pernah menyinggung hak atau privasi siapa pun. Aku mencari-cari cacat dalam kurva hidupku satu minggu—ah, tidak, satu bulan belakangan, tetapi tak kutemukan keanehan. Jangankan melanggar hukum, aku adalah tipikal pekerja yang saking patuhnya, seringkali melakukan lembur tanpa bayaran. Dan hal itu kulakukan dengan senang hati.

Keanehan pagi ini justru adalah keanehan itu sendiri.

“Ikut kami ke kantor sekarang,” kembali ia berkata dengan nada dingin dan datar, seolah mengajakku ke kantin untuk makan siang.

Tatapanku beralih pada nakas. Ponselku di sana, berkedip, puluhan notifikasi pesan baru bersahutan meminta atensi. Sebelum tanganku sempat meraihnya, laki-laki itu mendahului. Ponselku disita, dimasukkan ke dalam plastik segel bening. Jembatanku menuju dunia luar terputus.

Pemuda di belakangnya menyerahkan sehelai kertas, dan seketika raut wajah Ibu mendadak luruh. Tidak lagi panik, tapi tampak cukup terpukul dalam keheningan yang mematikan. Seolah hal itu menjadi menjadi konfirmasi resmi atas statusku yang tiba-tiba saja berubah, sebuah sarana agar mereka dapat membawaku menjauh darinya. Ibu memang tidak berkata apa-apa, tapi derai air matanya adalah terjemahan paling jujur dari seluruh ketakutan dan rasa kehilangan yang tidak sanggup ia ucapkan.

“Shabit baik-baik aja, Bu.” Aku memaksakan seulas senyum, sebuah pertahanan terakhir untuk meyakinkannya dan, ironisnya, untuk meyakinkan diriku sendiri. “Mungkin ada salah paham di kantor. Nanti Shabit langsung pulang kalau semuanya udah beres.”

Aku menjanjikan kepulangan yang belum tentu bisa kutepati.

Ibu mengangguk, ia hanya memberiku sebuah anggukan...

Baca selengkapnya →