BARANGKALI aku memang lelaki yang lemah hati.
Untuk yang ke—aku tak ingat lagi—aku menghubungi nomor telepon mertua. Tapi dari waktu ke waktu, semakin aku mencoba, nada sambung menjadi semakin panjang, seolah si pemilik telepon sedang menimbang antara mau menjawab atau tidak. Ibu mertuaku akhirnya menyahut pada nada sambung ke enam. “Ma, tolong, saya mau bicara dengan dia,” kataku, sudah hampir memelas. Jawaban mertuaku masih sama, “Dia ...